Rabu, 15 September 2010

Puisi dari Kenangan yang Terus Membayang

Catatan Kecil SONI FARID MAULANA

SETIAP orang punya narasi, yang bersumber pada pengalaman, pada kenangan yang terus membayang. Tentu saja narasi yang dimaksud bukan narasi yang selama ini diperbincangkan oleh para filsuf dan pemikir kebudayaan pada umumnya. Narasi yang dimaksud adalah narasi yang personal sifatnya, yang menggoda pikiran dan hati sang penyair untuk mengekalkannya dalam baris-baris puisi yang ditulisnya, yang boleh jadi tidak seluruhnya berhasilnya disimpan dan dikekalkannya dalam lemari kata-kata. Di dalam kehidupan, manusia senantiasa berhadapan dengan ironi-ironi, yang disadari atau tidak menjadi sumber penciptaan bagi puisi-puisi yang ditulisnya.

Di satu sisi, ia sadar bahwa dirinya fana, takut dikejar-kejar kematian di kala senang. Namun di pihak lainnya, ia begitu mengharapkan kematian datang menjemput dirinya – ketika situasi kejiwaannya tengah goncang, dilanda putus cinta, atau ditampar oleh sebuah pengalaman buruk yang tidak bisa ditanggungnya secara nyata. Dalam kondisi semacam itu, beberapa puisi yang saya tulis lahir dari pengalaman yang kelam, seperti di bawah ini:


DI ATAS PANGGUNG

Shakespeare mengapa kau tulis kisah Romeo
dan Julia? Racun cinta yang aku teguk berbenih
maut dalam dadaku. Sedang hujan yang turun
sejak pagi tak mengubah apa-apa.
duka Romeo yang mengendap dalam kalbuku
mengekalkan keasinganku akan martabat dan derajat
akan status dan kehormatan yang bila
gelap malam tiba menikam pungguku dari belakang

atas semua itu Shakespeare dengar nyanyianku
yang satu ini. Bahwa cinta tak selamanya mampu
menjelaskan cahaya bulan yang terbit di hati
bahwa kelelawar tak mampu menghirup cahaya
matahari, yang diburunya berabad-abad
saat terjaga, hanya kursi, kecoa, dan kain hitam
di atas panggung. Sedang lampu-lampu redup sudah
sedang hatiku bagai hamparan padang rumput

yang bergemuruh menahan kengerian hidup
yang dingin dan sunyi dipeluk embun dini hari
lalu angin dingin berhembus lagi ke ruang ini
ke panggung ini, ke lantai kayu ini,
ke tubuhku ini. Ke tubuhku ini



 

1985

Setelah sekian jarak saya menulisnya, saya sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Donny Gahral Adian dalam pengantarnya untuk buku Yasraf Amir Piliang, yang saya pinjam dalam tulisan ini, untuk menjelaskan apa dan bagaimana proses kreatif itu mempunyai hubungan yang erat dengan realitas kehidupan, yang menjelma narasi yang mempribadi itu.

Donny bilang, kesadaran tentang kefanaan berbanding lurus dengan kesadaran akan kesejatian. Manusia yang menyejarah adalah satu-satunya sosok yang sangat terganggu dengan kefanaan itu. Sebuah ironi menarik. Sosok yang sadar akan kefanaan sekaligus, adalah ia yang gandrung akan kesejatian.

Hidup memang ada dalam kondisi yang demikian. Sudah sewajarnya, dalam mengasah dirinya, seorang penyair harus pula peka terhadap hal-hal semacam itu. Dan bila hal itu dihayati secara sungguh-sungguh, maka ia akan serupa dengan sumber pencerahan. Setidaknya setelah jatuh dalam gelap, saya merasa lebih dewasa lagi dalam sebuah pengalaman spiritual yang lebih luas dan dalam, dari apa yang saya alami sebelumnya.

Semua itu tentu saja bertitik pangkal pada realitas kehidupan, dan itu artinya, bukan berangkat dari sesuatu yang dibayangkan, yang bersumber dari ruang yang kosong, dari hati dan pikiran yang tidak mengalami apa-apa. Selain puisi di atas, saya menulis pula puisi lainnya, yang bersumber dari pengalaman semacam yang nyaris sama, dengan situasi dan variasinya yang lain lagi, seperti di bawah ini:


BINTANG MATI

duduk di bangku kayu, menghayati
sorot matamu yang kelam oleh kabut dukacita
aku temukan bintang mati
bintang yang dulu berpijar dalam langit jiwaku
aku temukan kembali -- begitu hitam dan gosong
dan kau menjerit terpisah dari cintaku.

dengarkan aku bicara, suaraku
bagai ketenangan air sungai bagai keheningan
batu-batu dasar kali melepas bau segar tumbuhan.
bila hari kembang;
suaraku membangun kehidupan yang porak-poranda
oleh gempa peradaban. Ya, kutahu kota yang gemerlap
menyesatkan rohanimu dari jalanku.
hanya ini yang bisa kuberikan kepadamu:
rasa gula terperas dari tebu jiwaku. Reguklah,
biar jiwamu berkilau kembali. O, bintang
yang dulu benderang dalam langit jiwaku.


 

1987-1989


Tentu saja, bukan hanya persoalan cinta, dan hati yang luka, yang menjadi sumber penciptaan puisi bagi seorang penyair. Ada banyak sumber lainnya yang menyebabkan hati kita tergerak, dan terpanggil untuk menulisnya. Penyair dengan demikian bukan hanya berdiri sebagai saksi zaman, ia juga bertindak sebagai juru tulis dan bahkan jurus tafsir bagi penggalan-penggalan riwayat hidupnya, atau riwayat masyarakat dan negaranya, yang dikekalkannya dalam setiap lapisan kata-kata, yang di satu sisi boleh jadi menyusup ke dalam balik kulit lapisan bunyi vokal dan konsonan yang menjelma lambang, symbol, apapun namanya.

Dalam konteks semacam inilah, saya yakini bahwa di dalam karya seni yang demikian senantiasa ada kegiatan jiwa yang terus-menerus hadir, bolak-balik, mondar-mandiri antara kenangan dan realitas hidup yang dihadapinya secara nyata. Pendeknya, reaksi terhadap rangsangan yang menggairahkan mungkin bisa diterangkan hubungan sebab akibatnya; tapi kegiatan kreatif, yang merupakan antithesis atau lawan yang mutlak dari apa yang dibayang-bayangkan saja, jelas tidak akan membuat sebuah karya seni terasa ruhnya, karena ia kehilangan akar, kehilangan konteks yang menjadi sumber acuan dalam berproses kreatif.

Itu sebabnya saya sering mendapat pertanyaan, “saya sering buntu dalam menulis puisi, kata-kata seakan hilang dari ingatan?” Tanya Siti Mirantini dalam sebuah acara diskusi puisi, tempo hari di Banjarmasin dalam acara Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) yang diselenggarakan oleh majalah sastra Horison bekerjasama dengan Ford Foundation. Jika kita mengenal dengan baik seluruh sudut dan ruang dari pengalaman, atau kenangan yang terus membayang dalam ingatan kita, insya Allah, kita tidak akan pernah kehilangan kata-kata, karena kata-kata datang dengan sendirinya. “Kata-kata seakan memburu kita, meminta kita untuk melahirkannya jadi sebuah puisi,” ujar penyair Sutardji Calzoum Bachri dalam sebuah kesempatan di Universitas Lidah Buaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, sebelum terbang ke Banjarmasin.

Setidaknya, demikianlah selintas kilas saya hendak mengatakan akan pentingnya mengenali pengalaman, yang tidak pernah lepas dari realitas kehidupan, walau benar ketika ia menjelma symbol, hal-hal yang bersifat artistik dan estetik, dan sebagainya, dan sebagainya, sudah menjadi dunia yang lain, yang isi dan maknanya hanya akan bisa diungkap bila kita mampu menafsirnya. Peka terhadap pengalaman, lebih tepatnya lagi peka terhadap suasana yang melingkari pengalaman tersebut, adalah ruh dari puisi, yang tidak hanya bersumber pada daya intelektual saja. Paling tidak, saya memahami proses kreatif penulisan puisi, dari sisi semacam ini salah satu sisinya.

Lepas dari persoalan tersebut di atas apa yang dinamakan kenangan dalam konteks yang demikian itu adalah pengalaman juga. Ia selain berurusan dengan persoalan-persoalan hati yang luka, bisa juga berupa sebuah tempat yang tidak bisa lupakan. Tempat itu bisa di dalam atau di luar negeri. Dan apa yang berkait dengan tempat, bisa juga merupakan penggambaran dari tempat itu, atau dari sebuah peristiwa batin yang berkait dengan tempat itu. Fokus terhadap satu bagian dari tempat dan peristiwa yang terjadi pada sebuah tempat di mana kita berarada, itulah yang dinamakan sudut penciptaan puisi, yang tentu berbeda dengan apa yang disebut dengan sudut pandang. Dan apa yang dinamakan sudut pandang biasanya lebih kepada penentuan nilai-nilai, sedangkan apa yang dinamakan sudut penciptaan puisi lebih mengarah pada kejelian kita dalam menangkap dan mengkristalkan peristiwa puitik yang menghampiri kita secara telanjang bulat, merangsang, dan menggairahkan. Satu dari sekian puisi yang saya tulis berkait dengan tempat adalah seperti puisi di bawah ini:


PARIS LA NUIT

dua jam yang lalu
di Brasserie Lipp sambil minum anggur
aku tunggu Charles Baudelaire,
ia tak kunjung datang dari negeri kelam.
omongan balau, asap rokok,
juga sebaris imaji yang liar melintas di situ.
malam beranjak tua mengenakan mantelnya
yang hitam bergaris angin musim dingin.

sepanjang Saint-Germain
lampu menyala. Kata dan lagu asing
menyerbu pendengaranku.
cahaya bulan dan bintang disapu kabut.
langkah kakiku terasa penat, naik-turun
undakan nilai-nilai berduri maut.

sebab hidup mengalir ke hilir
sebab bahagia dan derita tipis batasnya
sekali lagi dalam hawa yang dingin
aku teguk anggur merah.
perlahan dan sangat perlahan di hadapan
gerbang dunia tak di kenal membuka
cahayanya lebih sunyi dari ribuan lampu
yang menyala sepanjang Saint-Germain

manusia lalu di sana, seperti katamu,
menyeberangi hutan lambang


 

1999

Puisi tersebut saya tulis di tempat tinggal penyair Sitor Situmorang di Paris, setelah pada malam hari sebelumnya, saya, penyair Rendra, Nenden Lilis Aisyah, Ken Zuraida, Agus R. Sardjono, Jeff Paimin dan seorang perempuan yang saya lupa namanya mengajak menikmati Kota Paris malam hari di kawasan Saint-Germain, yang indah. Brasserie Lipp yang ada di kawasan tersebut serupa dengan restoran mewah, tempat aktor dan aktris film yang bermukim di Kota Paris makan di situ. Konon tempat itu pernah pula didatangi oleh para filsuf di kota tersebut. Pikiran saya pada malam itu tiba-tiba saja ingat Charles Baudelaire, salah seorang tokoh puisi modern Prancis dengan gerakan puisi surealisme yang menghebohkan pada zamannya (1821-1867).

Dalam kondisi yang demikian itu batin saya berhadapan dengan yang nyata dan tidak nyata. Semua bercampur-aduk, menjelma pengalaman yang mistis, dan bahkan magis. Untuk itu benarlah apa yang dikatakan Rendra, pengalaman puitik adalah pengalaman yang tidak diduga kedatangannya. Bila ia menyapa batin kita jangan ditolak, biarkan ia masuk ke relung hati terdalam, hingga tumbuh, besar dan matang. Pada waktunya ia akan seperti bayi, tanpa diminta akan lahir sendiri.
Ketika puisi lahir dengan sendirinya, ternyata secara otomatis apa yang dinamakan majas dalam tataran semantik maupun sintaksis lahir pula dengan sendirinya. Jadi sebuah pengalaman yang matang pada kenyataannya telah menyiapkan segalanya. Jika pun terjadi revisi, hanya revisi kecil, mencari kata yang sepadan untuk kepentingan rima, atau untuk pendalaman makna agar apa yang ingin diekspresikan itu tepat adanya, dan kita pun menjadi puas karenanya.***

Selasa, 14 September 2010

Majalah Sastra Horison, September 2009

Sajak-sajak Soni Farid Maulana

PULANG

  - untuk Heni Hendrayani

      rumah yang aku tuju sudah terlihat
bayang-bayangnya. Tujuh lapis tirai kabut terangkat
di hadapan. Siapakah yang menungguku di rumah itu?
cahaya kegelapan atau cahaya rohanikah yang kelak
menyambut ruhku di ruang tamu?
     bahwa hidup yang aku tempuh ke muka
tidak mulus, memang. Ada kalanya kakiku
tersandung batu, serupa mawar hitam yang tumbuh
di belukar liar. Di situ maut sungguh bengis,
pandang matanya sungguh api. Tubuhku hangus
dalam waktu yang sia-sia.
     jika aku pulang di malam lengang, di hatiku
tersimpan sebuah ruang yang telah aku sucikan
untukmu, hanya untukmu semata. Aku mengerti
bila kau tak ingin masuk ke dalamnya,
sebab kau tidak ingin menyingkirkan yang lain.
tidak apa.
      sekali lagi, jalan pulang sudah terbentang.
ada rumput ilalang yang basah oleh hujan. Cintaku,
jangan teteskan airmatamu di jalan itu. Biarkan
hanya basah hujan, dan sisa kabut yang mengendap
di palung daging daun-daun. Dan kini, lepas aku
dengan hatimu yang tulus, sebagaimana aku
mencintaimu bukan untuk nafsu


2009



BAYANG-BAYANG

       siapa yang memarkir kereta jenazah
sewarna pucuk rangasu di halaman tubuhku?
yang punya rumah belum lagi berbenah,
walau cahaya matahari condong ke arah petang.
sungguh, jalan pulang memang sudah tampak
di hadapan, dan rumah yang dituju
memang sudah terlihat bayang-bayangnya.
      jika aku bilang bahwa dalam hatiku ada ruang
yang telah aku sucikan untukmu, maka siapa lagi
yang aku tunggu selain dirimu? Betapa cinta kita
berdesis bagai ular hitam di rumpun malam. Di antara
yang nyata dan yang maya. Berdesis tidak untuk
cari korban.
       kemarilah cintaku, sejenak saja. Lihat kereta
jenazah yang di parkir sang waktu di halaman tubuhku
sudah seharum kembang mayang. Dan pak kusir
sudah duduk di takhta kesayangannya, siap tarik tali kekang,
siap menuju alamat, ke sebuah tempat yang mungkin
tidak sempat kita ingat. Kita? Tidak, bukan kita
yang akan berangkat, tapi aku.
        sekali lagi, kemarilah cintaku. Buka ruang yang telah
aku sucikan untukmu. Masuklah. Ada setangkai bakung
merah, yang aku petik dari taman kesunyianku sehabis bulan
dilepas mega malam. Ada juga selapis kain putih,
yang dulu aku pakai ketika tawaf di baitullah. Semua itu,
untukmu. Untuk menyeka dukamu.


2009



REMANG MIANG 


      sungguh aku begitu sunyi ketika kau
tak menjawab smsku, meski maut yang aku tunggu.
apa yang membuat hatimu menutup pintu
hingga segala ruang percakapan
menjadi sunyi serupa tugu batu? Kemarin malam
kita masih bercakap tentang rembulan yang luka
ditusuk runcing pucuk pinus.
 kau bilang sore ini kau harus pulang.
ya, aku mengerti, dan kita memang akan pulang.
tapi kau pulang ke mana, ke Batavia? Aku sendiri
pulang ke tempat yang lain, di mana
Yang Maha Kekal: --tegak -- sudah di hadapan,
lalu bau kesturi. Lelebihnya bau bunga bangkai.
o maut, kawan akrab negeri kelam.
     cintaku, dengarkan aku bicara,
sungguh kau telah meruang-mewaktu
dalam batinku. Tapi mengapa kau masih juga ragu,
bahkan tidak percaya kepadaku? Apakah aku
serupa drakula di hadapanmu? Jika serupa itu,
mengapa jendela hatimu masih kau biarkan
terbuka ke arahku, hingga kilau lampu
di kamarmu berkedip: serupa morse,
-- isyarat rindumu kepadaku? -- O, maut,
kawan akrab mimpi hitam.


2009



KELAM

      lalu siapa yang berkelebat dalam ruang
yang telah aku sucikan untukmu,
kalau bukan dirimu? Koak burung gagak
dalam kelam. Ledakan bintang merah di langit hitam.
o maut sahabat karib negeri gaib.
      sekali lagi, siapa yang berkelebat dalam ruang
yang telah aku sucikan untukmu, kalau bukan dirimu?
ya, memang, aku mendengar langkah itu. Lebih halus
dari derai kabut di pucuk pohonan. Lebih lembut
dari jejak gerimis di kelopak bunga angsana. O maut
karib malang dalam duka.

      sekali lagi aku bertanya, mengapa kau, cintaku,
tak juga datang ke tempat ini, ke ruang ini, ruang
yang telah aku sucikan untukmu? Betapa jarak
dan bahasa telah memisah kita. O maut
: -- salib ruhku di tulang rusuknya –
hingga segala makna: lebur dalam tiada,
ke titik asal hidupku bermula.


2009



AMBANG PETANG

 malam bergulir di tangkai daun
serupa sisa hujan ambang petang
lebih lembut dari embun airmataku
yang tumpah di sisi kiri baitullah –
dan maut begitu nyata di pangkuanku
 sekali lagi, di sisi kiri baitullah
airmataku tumpah. Langit begitu jernih
disepuh cahaya bulan. Kalbuku
pedih sungguh dirajam pisau kegelapan
senyata maut yang rebah di pangkuanku
 o, jalan pulang yang terbentang
di hadapan. O, ruang yang telah aku sucikan
untukmu, sunyi sungguh, serupa batu hitam
di dasar sumur tua. Dan kini, kuntum harap
tak lagi mekar serupa ligar mawar
di belukar liar, sejak kau serupa bayang-
bayang di kelir batinku.


2009


TERATAI

      ada teratai biru mekar di kedalaman.
teratai ini teratai hatiku, untukmu. Ia
lebih biru dari inti api yang bukan api.
seandainya kau melihatnya malam hari,
ketika cahaya bulan menyentuh miring:
-- kau akan berkata, “semekar itukah
rindumu kepadaku?” Ya. Segairah itu pula:
-- ajal, sang mempelai, menantiku
di ranjang waktu.

      teratai ini, teratai yang lain, cintaku. Ia
lebih wangi dari kembang kabung,
lebih bersinar dari cahaya matahari,
lebih redup dari kilau matamu, ketika perlahan
terpejam di sisiku. Dalam pelukanku. O, maut
datang dan pergi bagai dentang jam.


2009



MELATI AIR  

     ini melati air untukmu, cintaku. Melati ini,
tidak wangi, memang. Tapi warnanya
yang putih, dan wujudnya yang sederhana itu
adalah sebuah puisi. Aku suka melati ini:
dalam gelap aku bertanya, apa artinya
wangi dan tidak wangi, bila ia begitu cepat sirna
dalam hidup kita?
       bukankah yang abadi, cintaku,
bukan soal wangi dan tidak wangi
dalam hidup kita? Yang abadi
adalah seberapa sungguh kita mengada,
tumbuh dalam dunia yang kita damba.
lalu, hidup itu apa? Betapa batas dan tepi,
terhampar di hadapan. O, maut
getar layar gaib perahu waktu.

       cintaku, ada malam-malam panjang
dalam hidupku tanpa cahaya bulan, tanpa
bunyi musik. Tanpa derai angin di ranting
pepohonan. Ada kesunyian biru senyap
membungkus ruhku di sudut waktu
dan, kau, cintaku, serupa dewi asri, terbang
ke pusat cahaya yang tak tercatat alam raya,
alam gaib dalam getar jantungku


2009 



BAKUNG

        bukankah cahaya lilin di atas meja
tinggal sehembusan napas lagi, cintaku?
cahaya remang di sela rimbun dedaunan
menggarisbawahi bayang-bayang detik jam
yang menilam lumpur di atas kubur.
      apa yang kau ragukan, cintaku?
ruang yang aku sucikan untukmu sudah seharum
kembang bakung. Sudah seharum bunga setaman:
-- harum bunga -- yang bukan sembarang bunga
dalam hidupku, aku sunting untukmu.
       o maut, yang berkelebat dalam derai hujan,
menjaring angin dingin di ranting pohonan,
yang berdesir dan berdesir searus alir air.
sedang di sini, di ruang ini, hanya cahaya lilin,
remang malam, dan kau tak ada
di sampingku.


2009



Selain dimuat dimajalah sastra Horison,juga dimuat dalam kumpulan puisi Peneguk Sunyi (Kiblat Buku Utama, 2009)

Tajug Rencana HU Pikiran Rakyat, 8 September 2010

Soni Farid Maulana

Idul Fitri

fajar 1 syawal di ufuk timur
fajar yang basah oleh takbir dan tahmid.
adakah cahaya idul fitri
terbit lebih cerah dari cahaya matahari
dalam langit kalbuku sehitam arang?

di lapangan terbuka
sajadah demi sajadah umur
terhampar ke arah kiblat
basah oleh airmata
yang pedih ditinggal bulan puasa
bulan yang penuh rahmat
dan ampunan Allah ‘Azza Wajalla.

“wahai manusia
batas umur adalah kubur
adakah bulan puasa tahun ini
bukan hanya haus dan lapar
bagi kita yang menjalaninya
dengan penuh rasa syukur?”

suara itu jelas terdengar
ketika angin lembut pagi hari
menyisir rerumputan
takbir dan tahmid pun bergema
menggungcang ruang dalam
ruang dadaku yang kelam.

“wahai manusia
mengapa kau masih juga sibuk
dengan urusan keduniawian,
mengapa kau hardik fakir miskin
dari halaman rumahmu,
yang justru dengan itu
sesungguhnya ia tengah bekerja
memperindah puasamu. Sayang,
kau telah mengancurkannya
dengan kata-kata kasarmu!”

suara itu kembali terdengar
sesaat sebelum rakaat salat idul fitri
ditegakkan di atas sajadah umur
yang tidak hanya terhampar ke arah kiblat
tetapi juga menukik ke arah kubur
ke tepi waktu ke tepi salju. Dan aku,
tak kuasa berdiri tegak, betapa keropos
isi dadaku. “Amal macam apakah
yang aku jalanani selama ini, kotor
dan berdebu: di bulan puasa
yang mungkin tidak lagi aku jumpa
di tahun depan. Di tahun depan?”

sesaat hening menilam hening
alun takbir dan tahmid terdengar nyaring
dalam pengupinganku yang dalam
yang membangkitkan seluruh ingatanku
sehitam aspal jalanan.  Cahaya alif,
betapa aku rindu selamanya
terpancar dari segenap rahmat
dan ampunan Allah ‘Azza Wajalla
melimpahi kalbuku, kalbu
umat Muhammad saw
di hari idul fitri


2010

Selasa, 31 Agustus 2010

Sekitar Proses Kreatif Saya

Catatan Soni Farid Maulana

 1
Perkenalan saya dengan puisi cukup panjang ceritanya. Bermula dari kebiasaan almarhumah Oneng Rohana, nenek saya tercinta, yang kerap kali membawa saya ke berbagai tempat acara tembang sunda cianjuran, di Kota Tasikmalaya, kota kelahiran saya. Saat itu, saya masih kanak-kanak, sejak belum masuk sekolah dasar (SD) hingga duduk di Kelas I-D SMP Negeri II Tasikmalaya, pada tahun 1976 lalu.

Pada zamannya, almarhumah nenek saya dikenal sebagai guru tembang sunda cianjuran. Ketika ia tengah mengajar murid-murid kesayangannya, atau ketika ia tengah menembang dalam acara yang lain, saya kerap tertidur dipangkuannya. Waktu bergulir. Ketika saya mulai bisa membaca dan menulis, lebih tepatnya ketika duduk di bangku SD Sukasari I, Tasikmalaya, saya sering disuruh oleh nenek saya membaca teks tembang sunda cianjuran dari buku-buku yang sudah sobek, kemudian nenek saya menyalinnya kembali di buku yang baru dengan tulisan tangannya sendiri berdasar pada teks yang saya baca. Salah satu teks yang saya baca pada saat itu, Anda bisa baca di bawah ini, Jemplang Bangkong, yang masuk dalam rumpaka lagu Tatalegongan:

 Bangkong di kongkorong kujang
 Ka cai kundang cameti
 Kolé di buah hangasa
 Ulah ngomong méméh leumpang
 Hirup katungkul ku pati
 Paéh teu nyaho di mangsa


Dalam pandangan saya, ketika teks tembang Sunda cianjuran tidak dilantunkan, teks tersebut lebih dan tidak kurang serupa dengan lirik-lirik puisi, yang ditulis dengan hukum-hukum tertentu. Setiap larik dalam teks tersebut terikat oleh jumlah suku kata, rima, dan tema. Banyak kalangan mengatakan jenis puisi yang demikian dalam sastra Sunda disebut dangding. Salah seorang penyair Sunda kenamaan yang menulis dangding adalah Hasan Mustapa.

Ada pun perkenalan saya dengan puisi modern, dalam hal ini yang ditulis dalam bahasa Indonesia, saya mulai mengenalnya ketika duduk di bangku SMP Negeri II Tasikmalaya. Saat itu, Ibu Ira, guru pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, mengajarkan di depan kelas tentang pantun yang kemudian berlanjut pada puisi Amir Hamzah dan Chairil Anwar di bulan-bulan berikutnya. Saya mulai tertarik dengan puisi, saat Ibu Ira membacakan puisi Amir Hamzah berjudul Padamu Jua di depan kelas. Pada pertemuan berikutnya saya disuruh membaca puisi Doa, masih karya Amir Hamzah di depan kelas. Konon kata Ibu Ira pada saat itu, suara saya cukup bagus. Lalu ia memberi saran kepada saya untuk membaca puisi dari buku-buku puisi yang ada di perpustakaan sekolah.

Buku puisi yang pertamakali saya baca ketika duduk di bangku SMP adalah Deru Campur Debu karya Chairil Anwar. Selain itu pada saat itu, saya sudah mulai berkenalan dengan Permadi Betarakusuma dan Rachmat Budiman. Keduanya aktivis teater di Tasikmalaya. Saya sering pula diajak oleh kedua orang tersebut untuk membaca puisi di acara-acara lomba baca puisi, atau di acara-acara yang mereka selenggarakan sendiri bersama kelompoknya masing-masing. Rachmat Budiman yang anggota Teater Epos pimpinan Bambang Arayana Sambas membuat kelompok sendiri di Sindang Sari, Pasar Pancasila Tasikmalaya, dan Permadi yang anggota Teater Prasasti Tasikmalaya, juga mempunyai kelompok sendiri. Permadi mendirikan komunitas Gotongroyong Sastra Tasik (GST). Semua komunitas seni yang saya sebutkan barusan, tentu saja sekarang sudah bubar.

Kepada kedua orang tersebut, khususnya, kepada Permadi Betarakusumah saya sering memperlihatkan puisi yang saya tulis. Keduanya sering mengkritik habis. Setelah itu saya merasa frustasi, dan mengakui dengan jujur kepada keduanya bahwa saya tidak berbakat menulis puisi. Sejumlah puisi yang saya tulis saat itu saya bakar, dan saya tidak lagi berani memperlihatkan puisi-puisi saya kepada keduanya ketika saya mulai menulis puisi yang lain. Waktu bergulir.

Ketika nenek saya meninggal dunia pada tahun 1976, saat itu saya duduk di bangku SMP Negerei II Tasikmalaya Kelas I-D, kwartal kedua, saya gelisah bukan kepalang. Saya seperti kehilangan pegangan. Dalam rasa kehilangan itu, malamnya sepulang dari pekuburan saya menulis dua buah puisi, masing-masing berjudul Kamar dan Di Pemakaman. Dua puisi tersebut secara berturut-turut saya sajikan di bawah ini:

 KAMAR

 cahaya hidup semekar mawar
 kapankah bisa kupetik? Yang terdengar
 di kamar ini hanya gema mobil lewat
 dan di atas meja ada fotomu tak terawat

 tak terdengar lagi petikan kecapi
 juga mupukembang yang kau tembangkan
 selain risik angin di tangkai pohonan
 terdengar nyaring di luar jendela


 1976





 DI PEMAKAMAN


  - mengenang Oneng Rohana

 di bawah langit Sukaradja yang membentang
 ada gerimis dan rumputan sujud pada keheningan
 ada jasadmu ditimbun tanah basah
 seiring mawar doa yang mekar di kalbuku

 ada kenangan menjaringku saat melati kutabur
 ada tembang cianjuran yang menggema dalam pengupinganku
 yang kau perdengarkan
 menjelang malam bersekutu dengan sunyi

 dan bulan hanya tampak
 bayang-bayangnya saja. Kini dalam laguan
 lembut angin pagi

 saat matahari bergeser sedetik: aku tahu
 semua itu: betapa keabadian hidup
 hanya milikNya saja


 1976


Gaya pengucapan kedua puisi tersebut saya akui dengan jujur banyak dipengaruhi oleh gaya pengucapan Chairil Anwar yang liris itu. Adanya pengaruh yang demikian besar pada masa-masa awal kepenyairan saya, tidak akan saya tolak atau saya pungkiri. Saya kira itu wajar. Kedua puisi tersebut kemudian saya himpun dalam antologi puisi Pemetik Bintang (1976-1986). Buku tersebut diterbitkan oleh PT Buku Kiblat Utama pada Oktober 2008.

Selanjutnya ketika saya duduk di bangku SMA Pancasila, Tasikmalaya, guru bahasa dan sastra Indonesia, Ibu Aisyah namanya memperkenalkan saya pada buku Dukamu Abadi karya Sapardi Djoko Damono. Ketertarikan saya terhadap puisi kian menjadi-jadi. Saat itu, tahun 1980, sahabat saya Permadi Betarakusuma menyarakan kepada saya untuk mengirimkan sejumlah puisi yang saya tulis ke HU Pikiran Rakyat. Di Koran ini, penyair Saini KM mengasuh rubrik puisi, yang diberi nama Pertemuan Kecil.

Lewat rubrik Pertemuan Kecil saya mulai mengenal nama penyair Acep Zamzam Noor dan Beni Setia, selain Juniarso Ridwan dan Yessi Anwar. Saya pun mencoba mengirimkan sejumlah puisi ke media tersebut. Hasilnya banyak yang ditolak. Dari bulan Januari 1980 mengirim puisi secara terus-menerus baru dimuat pada bulan September 1980, entah kiriman yang keberapa. Setelah itu lantas di muat di Majalah Gadis, Hai, dan Majalah Puteri yang rubrik puisinya diasuh oleh penyair Taufiq Ismail.

2
Pada tahun 1982 saya mengembara ke Bandung, kuliah di Jurusan Teater Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung. Di Bandung saya ikut menginap di rumah kontrakan penyair Acep Zamzam Noor, yang saat itu mengontrak sebuah kamar di Jalan Titiran 27 Bandung. Di tempat Acep ini saya mulai mengenal sejumlah puisi yang ditulis oleh penyair Abdul Hadi WM, Wing Kardjo, Goenawan Momahad, Sutardji Calzoum Bachri, Saini KM dan Rendra. Koleksi buku-buku puisi Acep cukup lengkap. Di samping itu, di tempat Acep ini, saya mulai pula mengenal Majalah Sastra Horison, Basis dan Budaya Jaya.

Di Bandung wawasan saya tentang apa dan bagaimana puisi mulai berkembang setelah saya kenal langsung dengan penyair Saini KM, terutama dengan penyair Wing Kardjo almarhum yang sering saya temui di Cabang PT Pustaka Jaya yang berkantor di dekat Pasar Palasari, Jln. Banteng Bandung. Saat itu saya sering membeli buku puisi ke tempat tersebut. Di tempat inilah saya sering dikritik oleh Wing Kardjo setiap saya memperlihatkan puisi yang saya tulis. Di tempat ini pula Wing Kardjo memberi buku kepada saya tentang Puisi Prancis Modern yang diterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, selain itu menyarankan pula membeli kumpulan puisi Parsi Klasik yang diterjemahkan oleh penyair Sapardi Djoko Damono. Sejak itu saya mulai tertarik dengan gaya pengucapan puisi Prancis Modern yang surealistik, dan simbolik itu, seperti apa yan ditulis oleh Charles Baudelaire dan Arthur Rimbaud. Demikian pula dengan puisi-puisi liris religius dari Rumi, Attar, dan Sana’i.

Saya mencoba nulis, hasilnya saya ditertawakan Wing Kardjo. Lalu ia memberikan arahan bagaimana mengopersikan sebuah majas, metafora, atau simbol, baik dalam tataran semantik maupun sintaksis. Sayangnya, pertemuan saya dengan Wing Kardjo sangat singkat, karena Wing Kardjo keburu menyusul Ajip Rosidi ke Jepang, ngajar di sana. Meski pun demikian setiap pulang ke Bandung selalu mengontak saya, bicara soal puisi.

Pada tahun-tahun berikutnya saya tidak hanya mengirimkan puisi untuk dipublikasikan di Pertemuan Kecil yang seringkali dikritik oleh Saini KM, tetapi juga mencoba mengirimkan puisi ke HU Berita Buana yang lembaran puisinya diasuh oleh penyair Abdul Hadi WM. Hasilnya, puisi yang tidak dimuat oleh Saini KM dimuat oleh Abdul Hadi WM. Hal itu menanamkan sebuah keyakinan kepada saya, bahwa dimuat dan tidak dimuatnya sebuah puisi pada satu sisi bukan hanya ditentukan oleh bagus dan tidak bagusnya puisi, tetapi juga sangat ditentukan oleh selera redaksi sebagai penguasa rubrik.

Pada tahun 1986, setelah sering memublikasikan puisi di HU Berita Buana, untuk pertamakalinya saya diundang oleh DKJ untuk membacakan sejumlah puisi di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, dalam forum Temu Budaya 1986. Selanjutnya saya berkali-kali diundang DKJ untuk membacakan puisi yang saya tulis di TIM, Jakarta. Selain satu panggung dengan penyair Beni Setia dan Acep Zamzam Noor, saya pernah pula sepanggung dengan penyair Nirwan Dewanto.

Sejak puisi saya banyak dipublikasikan di berbagai media masa cetak pada saat itu, dan sejak diundang baca puisi dalam forum Puisi Indonesia 1987 yang digelar oleh DKJ banyak kalangan mengatakan bahwa saya termasuk salah seorang penyair Indonesia saat ini, yang muncul pada tahun 1980-an. O, ya, selain dipublikasikan di HU Pikiran Rakyat, dan HU Berita Buana, juga dipublikasikan di HU Pelita yang rubrik sastranya pada saat itu diasuh oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri. Selain itu juga dipublikasikan di Majalah Sastra Horison, yang rubrik puisinya pada saat itu juga diasuh oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri. Media massa lainnya yang pernah memuat puisi saya dewasa ini adalah HURepublika, HU Kompas, dan HU Koran Tempo.

Dalam perjalanan lebih lanjut sebagai penyair, saya segenerasi dengan penyair Acep Zamzam Noor, Dorothea Rosa Herliany, Nirwan Dewanto, Agus R. Sardjono, Jamal D. Rahman, Isbedy Setiawan, Ahmadun Yosi Herfanda, Ahmad Nurullah, dan Ook Nugroho untuk menyebut sejumlah nama. Selanjutnya, penyair Rendra pernah pula mengundang saya untuk membacakan sejumlah puisi yang saya tulis di Bengkel Teater Rendra, di Cipayung-Depok, Jawa Barat pada tahun 1989, sebelum saya pergi ke Filipina mengikuti acara South East Asian Writers Conference IV di Queezon City Filipina. Saat itu saya pergi antara lain bersama cerpenis Leila S. Chudori, penyair Dorothea Rosa Herliani, dan Arie MP Tamba, dengan ketua rombongan novelis Mochtar Lubis. Inilah pengalaman pertama saya naik pesawat terbang, menegangkan.

Sejak itu, saya berkali-kali diundang mengikuti berbagai forum puisi, baik berskala nasional maupun internasional, seperti forum Festival de Winternachten di Den Haag, Belanda (1999), Festival Puisi Internasional Indonesia yang diselenggarakan oleh penyair Rendra di Bandung (2002). dan International Literary Biennale: Living Together 2005 di Bandung, yang diselenggarakan oleh Teater Utan Kayu, Jakarta, dan beberapa forum lainnya yang terlalu panjang untuk saya sebutkan. Semua itu semakin menyadarkan saya, bahwa saya manusia biasa.

3
Berdasar pada pengalaman semacam itu, kini saya semakin yakin bahwa menulis puisi tidak bisa asal-asalan tanpa kita memahami dan mengerti inti pengalaman yang hendak kita ekspresikan dalam puisi yang kita tulis, yang bentuk pengucapannya berbagai-bagai itu. Bentuk pengucapan dalam konteks yang demikian hanyalah wadah atau semacam rumah yang hendak kita isi. Yang paling utama adalah bagaimana mengolah dan mengomunikasikan pengalaman puitik itu kepada publik, meski pada sisi yang lain ada juga yang mengatakan bahwa menulis puisi untuk puisi itu sendiri, dan bukan untuk yang lainnya.

Berkait dengan itu, dalam kehidupan manusia dewasa ini, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai alat untuk mentransformasikan pikiran, gagasan, maupun perasaan-perasan estetik dalam sebuah teks, baik berupa karya sastra, esai, maupun teks lainnya, yang di dalamnya mengandung citra, majas, metafor, dan simbol. Adapun yang disebut teks dalam kaitan tersebut harus merupakan teks yang bertalian maknanya, yang adakalanya disebut juga sebagai sintaksis teks.

Dalam konteks tersebut imajinasi mempunyai peran yang cukup penting dalam merealisasikan gagasan, ide, dan perasaan estetik yang ditulis dalam bentuk karya sastra maupun teks-teks lainnya dengan tujuan agar si pembaca (penerima) bisa memahami dan menangkap dengan cepat pikiran, gagasan, perasaan-perasaan estetik yang dipancarkan oleh teks yang dibacanya dengan penuh gairah.

Di atas, tadi disebutkan bahwa imajinasi adalah daya untuk membentuk gambaran. Maka gambaran yang dimaksud adalah gambaran yang tengah atau telah dibayangkan di dalam kepala untuk kemudian dikonkretkan dengan media seluas-luasnya. Jika ia berkaitan teks sastra atau teks-teks lainnya, maka gambaran yang dibayangkan itu diwujudkan dengan lewat bahasa figuratif (majas), simbol, dan metafora ditambah dengan gambaran visual (ilustrasi).

Daya membentuk gambaran itulah pokok soal dalam imajinasi. Oleh karena itu proses mengimajinasikan sesuatu selalu merupakan proses membentuk gambaran tertentu, dan itu terjadi secara mental, yang didalamnya melibatkan persoalan-persoalan psikologis agar si pengirim dan penerima imajinasi bisa sejajar dalam gelombang yang sama sehingga transformasi ide, gagasan, perasaan-perasaan estetik bisa terkomunikasikan dengan baik.

Tadi disebutkan bahwa dalam proses mengolah daya membentuk gambaran yang dibayangkan untuk divisualkan dalam teks diperlukan bahasa figuratif, metafor dan simbol. Ketiganya secara esensial mempunyai fungsi yang sama, yakni untuk mengkonkretkan daya bayang yang muncul di dalam kepala, sehingga apa yang hendak divisualisasikan menjadi jelas adanya dan pesan yang dikandungnya bisa dimengerti.
 Pada sisi yang lain adakalanya saya sering tertawa pula menyaksikan sejumlah orang yang merasa diri jadi kritikus, bahwa ia bisa mengkritik puisi orang lain dengan habis-habisan. Sementara itu puisi yang ditulisnya sendiri berantakan, tidak mengerti majas pertentangan misalnya. Munculnya kritik semacam ini pada satu sisi membuat saya tidak percaya pada kritik sastra, khususnya kritik puisi. Lainnya kalau kritik itu ditulis oleh penyair Goenawan Mohamad, misalnya, selain pikirannya cerdas, juga puisinya hebat. Berkait dengan hal tersebut, dua bulan sebelum meninggal dunia, penyair Wing Kardjo, saya, dan pelukis Rudy Pranadja bercakap-cakap di sebuah café di kawasan Dago, Bandung. Wing Kardjo berkata demikian:

“Sekarang selain juru kritik, makin banyak penyair yang merangkap profesinya menjadi juru komentar. Tentu itu haknya, dan kalau kita diam saja, pengalaman mengatakan seolah-olah juru komentar itu saja yang benar pikirannya, dan diam tak sama artinya emas,” kata Wing Kardjo sambil tertawa ngakak. Saya sependapat dengan apa yang dikatakannya itu.

Kembali kepada proses kreatif, benar seperti apa yang dikatakan Rendra bahwa seorang penyair tidak bisa menulis puisi dari ruang yang kosong, mengkhayal-khayalkan seakan-akan apa yang dialaminya itu benar-benar terjadi dalam hidupnya. Puisi yang demikian akan terasa tanpa greget, apalagi berupaya untuk berumit-rumit dalam mengekspresikan pengalaman batinnya itu.

Kehadiran Rendra dalam perjalanan kepenyairan saya pada saat itu memberikan pengaruh yang demikian besar pada pola pandang dan wawasan saya tentang puisi naratif, persoalan sosial, dan juga tentang teater. Rendra sering ngajak dialog, terutama jika lagi berkunjung di Bandung. Bahkan sering pula saya diundang ke Depok, nginap di sana. Jadi secara langsung atau tidak langsung kepenyairan saya pada satu sisi dibentuk oleh hasil pergaulan saya dengan para penyair tersebut di atas yang hingga kini saya hormati, termasuk dengan Abdul Hadi WM dan Sutardji Calzoum Bachri. Sungguh beruntung saya bisa mengenal orang-orang hebat yang baik budi itu.

Apa yang dibicarakan mereka tentang puisi saya renungkan hingga akhirnya saya memahami dengan sungguh-sungguh bahwa menulis puisi ternyata sukar adanya. Apa sebab? Karena menulis puisi bukan sekedar merangkai-rangkai kata, membuat metafor atau majas dalam tataran sintaksis maupun semantik dan sebagainya. Yang menentukan adalah seberapa jauh kita sanggup atau mampu mengolah dan menyajikan pengalaman batin kita yang personal itu sebening kristal. Dalam konteks inilah saya masih terus berupaya untuk hadir menulis puisi mencapai kesempurnaan.

Keinginan semacam ini saya kira keinginan banyak penyair. Dan apa yang saya capai selama ini belum seberapa dan belum apa-apa. Karena itu, ada rasa malu yang luar biasa meluap di dalam diri saya, ketika penyair Cecep Syamsul Hari yang malang melintang itu meminta saya menulis proses kreatif untuk Majalah Sastra Horison. Apa pun saya mengucapkan terimakasih kepada Majalah Sastra Horison yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk ditampilkan di lembaran Kakilangit. Semoga pembaca tidak kecewa, karena saya bukan penyair istimewa, tidak pula melahirkan gaya ucap baru. Saya penyair biasa, orang biasa.

4
Setelah dihitung-hitung, sejak tahun 1976-2009 saya menulis puisi, ternyata puisi yang saya tulis tidak lebih dan tidak kurang sebanyak 400 buah puisi. Sebagian besar sudah terdokumentasikan dalam bentuk buku. Dari sejumlah itu, saya merasa bahwa puisi yang saya tulis banyak yang gagal dari pada yang berhasil. Di antara yang berhasil dan saya suka, sebuah puisi yang sering saya bawakan dalam berbagai acara baca puisi adalah puisi di bawah ini, yang ditulis selama 1987-1989.

 BINTANG MATI

 duduk di bangku kayu,menghayati
 sorot matamu yang kelam oleh kabut dukacita
 aku temukan bintang mati
 bintang yang dulu berpijar dalam langit jiwaku
 aku temukan kembali – begitu hitam dan gosong
 dan kau menjerit, terpisah dari cintaku.

 dengarkan aku bicara,suaraku
 bagai ketenangan air sungai bagai keheningan
 batu-batu dasar kali melepas bau segar tumbuhan
 bila hari kembang:
 suaraku membangun kehidupan yang porak-poranda
 oleh gempa peradaban. Ya kutahu kota yang gemerlap
 menyesatkan rohanimu dari jalanku
 hanya ini yang bisa kuberikan kepadamu
 rasa gula terperas dari tebu jiwaku. Reguklah
 biar jiwamu berkilau kembali. O, bintang
 yang dulu benderang dalam langit jiwaku


 1987-1989


Puisi tersebut saya tulis ketika untuk kesekian kalinya saya merasa gagal dalam meraih nikmat kehidupan sebagai manusia normal mencari pasangan hidup. Alhamdulillah, rupanya Allah SWT mendengarkan doa saya. Pada tahun itu juga saya mendapatkan pasangan hidup yang mengerti dan memahami saya hingga kini. Dalam kaitan tersebut saya hendak mengatakan bahwa pengalaman hidup sekecil atau sebesar apa pun pengalaman hidup yang kerap disebut sebagai pengalaman puitik itu – adalah ruh dalam menulis puisi. Saya tidak bermaksud menguraikan puisi tersebut secara panjang lebar, selain hendak mengatakan bahwa menulis puisi memang tidak bisa asal-asalan.

Berkait dengan itu dalam pandangan saya menulis puisi adalah mengekspresikan sebentuk pengalaman dengan media kata-kata. Pengalaman yang diekspresikan itu, bisa berupa pengalaman hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya sendiri, dengan sesama maupun dengan alam. Dengan demikian dapat disimpulkan menulis puisi adalah merupakan sebuah kegiatan rohani, yang mengekspresikan hubungan manusia, dengan segala hal, baik secara fisik maupun metafisik dalam berkebudayaan.

Demikianlah saya memahami puisi dari kacamata seorang penulis puisi, yang tentunya hal itu akan berbeda dengan penyair yang lainnya. Kepenyairan saya tidak tumbuh begitu saja. Saya tumbuh dan berkembang dalam proses yang cukup panjang, yang hingga kini masih terus berkembang dan berupaya mencapai bentuk-bentuk pengucapan yang lain, yang selama ini saya tulis.

Sebagai penutup saya ingin menyajikan sebuah puisi yang saya tulis sepulang ziarah dari tanah suci, Makkah dan Madinah pada tahun 2008 kemarin. Puisi tersebut di bawah ini:

 TAHARAH

 sebelum sampai ke Raudhah, ingin kupotong
 kegelapan di kalbuku: seperti memotong hewan
 kurban. Hati yang karam ke dasar malam
 betapa sulit di jangkau. Tinggal kilau mata pisau
 di tanganku yang gemetar menujuMu

 2008



Bandung, 20 Februari 2009

Jumat, 13 Agustus 2010

mengukir sisa hujan

Soni Farid Maulana

KUKU SI MATI

- untuk Heni Hendrayani

di atas hamparan biru mekar bunga eceng gondok
ribuan piring terbang dikutuk peri hijau toska
menjadi kunang-kunang, sebab terlalu lancang terbang.
kau tertawa ngakak mendengar kisah yang tak masuk akal ini.
“ngaco, bukankah itu kuku si mati, yang menyeruak
dari rongga kuburan, mencari seiris Cahaya Maha Cahaya?”
demikian kau bilang.

meninggi atau merendah di hamparan daun padi
dan eceng gondok yang bergoyang-goyang
dielus angin malam, kunang-kunang tamasya
berkaca di atas permukaan kilau matamu. “Tidak,
itu bukan kuku si mati yang terbang dari rongga kuburan
itu wujud sukma gaibku yang tengah mencari
kilau sari putik kalbumu,” aku bilang,

dan kau diam sesaat, lalu menatap parasku
seperti menatap tamu asing yang singgah di rumahmu.
di bawah bulan dan bintang jatuh, kunang-kunang terbang
lalu meninggi ke angkasa maha luas seiring bola matamu
terpejam lembut dalam pelukku. “Bawa aku terbang ke biru
maqam cintamu yang maha biru. Ke nikmat hidup kaum suci,” bisikmu,
lalu desir angin begitu nyata di hitam helai rambutmu
seharum cempaka. Seharum tanah sorga. Tanah sorga


2008


SANGEN

1
Rara, mungkin di Nara,
di sebuah kuil tua,
sisa senja mempertemukan kita.
Garis merah di ujung langit sana
seperti sebuah isyarat, semacam rindu
ditafsir kepak burung,
diwirid rumpun ilalang.
Siut angin dan getar dedaunan
nun di sebuah jarak
seperti sebuah lukisan cat air
di sebuah museum.
Rara, hari-hari yang kita tempuh
berjurang dan berlembah nilai-nilai.
"Hanya waktu yang tahu rahasia nasib kita
di sebuah dermaga!" demikian kau bilang,
dalam sebuah surat serupa tujuh haiku
Kawabata.

2
Ke halaman hatimu
aku datang malam itu
dengan cahaya bulan
yang mengiris kegelapan.
Musim dingin atau musim semi
apa bedanya, bila rindu bertilam rindu
menemu makna yang sama,
lebih mekar dari sekar sakura.
Rara, lagu itu, petikan sangen itu,
telah menarik bintang langitku
berlabuh ke telukmu, tidur lelap
dalam matamu yang teduh.
"Sayangku, kau bukan sangkuriang
dan aku bukan dayang sumbi.
Kau dan aku saling mencari
saling menemukan!"

3
Di Nara, Rara, cahaya bulan
menyilang kuil tua,
seperti dalam sebuah film Kurosawa.
Suara-suara serangga malam
mengeja namamu dan namaku,
lalu getar daun gugur
di antara ranting sakura.
Dalam hening kita kembali mendengar
seseorang seperti tengah membaca
sebuah kitab suci,
atau mungkin tengah membaca
sebuah kisah cinta
yang kekal, yang tidak berakhir
dengan airmata, atau luka,
yang membuat kita terlempar
ke dasar palung sunyi yang kelam.
Rara, cahaya bulan di langit Nara,
cahaya cinta kita juga


2009


REMANG

Semalam rumahku yang dalam kebakaran.
Aku lengah. Aku melihat jiwaku terbaring sunyi
di celah kibaran rambutmu yang asing wanginya.
Di langit peri jangkung bunga kecubung
menatap tajam wajahku dan berkata, “terbakar juga?”
Aku hanya diam, tiang listrik dipukul orang,
hujan lebat mengguyur angsana hujan yang asing juga.
Ombak laut di ujung tanjung remang dalam kabut.
Detik jam berkilat seperti taring drakula diasah
cahaya bulan:inginkan urat darahku, inginkan darah segar
sekali hisap. Sungguh, ruang di mana aku berada
kini terasa sunyi seperti batu dasar kali. Aku mengerti,
bahwa batas dan tepi akan aku tempuh
dengan langit yang lain dan angin yang lain pula


2009


Melalui kumpulan puisinya yang terbaru, Soni Farid Maulana sekali lagi membuktikan bahwa ia termasuk penyair Indonesia kontemporer yang bukan saja sangat produktif, melainkan sanggup menjaga mutu tinggi yang sampai sekarang tetap menjadi ciri perpuisiannya. Dalam kumpulan terbaru, tema "maut" cukup menonjol. Tema yang - menurut kesan saya - sering dipilih penyair Indonesia. Tapi, Soni mengurus tema itu dengan cara yang meyakinkan, dengan menemukan sisi-sisi baru, sehingga tema "maut" dalam puisi Soni sama sekali tak terasa aus atau banal.

Berthold Damshäuser.
Pengamat sastra Indonbesia
Universitas Bonn


Soni Farid Maulana adalah penyair yang kuasa mendayagunakan sensitifitasnya secara terjaga. Imajinasi-imajinasinya terkendali, dan hadir ke tengah kita melalui pilihan kata serta serangkaian metafor yang terbilang sederhana, bernada personal dan terkadang pula sosial. Hal mana itu sekaligus juga menunjukan kematangannya sewaktu mengolah kejadian sehari-hari menjadi sebuah puisi yang penuh
arti.

Warih Wiratsana, penyair


Mengukir Sisa Hujan
Sajak-sajak 2007-2010
© Soni Farid Maulana

Diterbitkan oleh Ultimus
Cetakan 1, Mei 2010

Harga buku Rp30,000

silakan hubungi Penerbit Ultimus
Jl. Rangkasbitung 2A, Bandung, 40272
Telp./Faks. (022) 70908899, 7217724
ultimus_bandung@yahoo.com
www.ultimus-online.com

laman puisi

Soni Farid Maulana

Angin Bulan Suci

demi Zat yang jiwa Muhammad
berada di tanganNya,
sungguh bulan suci
yang dimuliakan Allah SWT
kembali datang mengajak kita
menjalani ibadah puasa

lalu aku dengar dalam hening
Rasulullah saw bersabda,
“Allah azza wa Jalla berfirman,
semua amal anak Adam itu
untuk dia sendiri, kecuali puasa,
karena puasa itu untuk-Ku
dan Akulah yang membalasnya.”

Ya, Rasul, betapa agung firman itu.
Adakah hamba bisa menjalaninya
tidak hanya sekadar haus dan lapar?
betapa amarah dan nafsu duniawi
selalu berkobar membakar hatiku
yang dalam. Ya Allah, harum sungguh
angin bulan suciMu mengisi ruang

kalbu hambaMu, yang tidak berdaya ini.
kuatkan niat hambaMu melangkah,
menempuh padang puasa, yang disetiap
pintu gembangnya: -- iblis menghadang,
mengharap hambaMu memalingkan muka
dari wajahMu. Dari Keindahan wajahMu
yang penuh rahmat dan ampunan.

Ya Allah air mata hambaMu
menitik di atas sajadah. Adakah ini
bulan suci terakhir yang hamba jalani,
setelah sadar betapa umur bau kubur
betapa tahun-tahun penuh sesal
menggumpal di dasar kalbuku
sehitam aspal jalanan


2010

HU Pikiran Rakyat, 10 Agustus 2010

catatan kecil

SONI FARID MAULANA lahir 19 Februari 1962 di Tasikmalaya, Jawa Barat, dari pasangan Yuyu Yuhana bin H. Sulaeman dan Teti Solihati binti Didi Sukardi. Masa kecil dan remaja, termasuk pendidikannya, mulai tingkat SD, SMP, dan SMA ditempuh di kota kelahirannya. Tahun 1985, Soni menyelesaikan kuliah di Jurusan Teater, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Saat ini bekerja sebagai jurnalis di HU Pikiran Rakyat Bandung, dan pernah mengelola lembaran seni dan budaya Khazanah bersama teaterawan Suyatna Anirun.

Aktif menulis puisi sejak tahun 1976. Sejumlah puisi yang ditulisnya dipublikasikan di berbagai media massa cetak terbitan daerah dan ibukota seperti HU Pelita, HU Berita Buana, HU Sinar Harapan, HU Prioritas, HU Suara Karya Minggu, HU. Bandung Pos, HU Suara Pembaruan, HU Pikiran Rakyat, HU Kompas, HU Tempo, dan HU Republika. Juga dimuat di Majalah Sasra Horison, Jurnal Puisi, Jurnal Ulumul Qur’an, Jurnal Puisi Renung, dan Jurnal Orientiërungen (Jerman).

Sejumlah puisi yang ditulisnya sudah dibukukan dalam sejumlah antologi puisi tunggal, antara lain dalam antologi puisi Variasi Parijs van Java (PT. Kiblat Buku Utama, 2004), Secangkir Teh (PT. Grasindo, 2005), Sehampar Kabut (Ultimus, 2006), Angsana (Ultimus, 2007), Opera Malam (PT. Kiblat Buku Utama, 2008), Pemetik Bintang (PT Kiblat Buku Utama, 2008)  Peneguk Sunyi (PT Kiblat Buku Utama, 2009) dan  Mengukir Sisa Hujan (Ultimus, 2010)

Selain itu juga dimuat dalam antologi puisi bersama seperti dalam Antologi Puisi Indonesia Modern Tonggak IV (PT Gramedia, 1987), Winternachten ( Stichting de Winternachten, Den Haag, 1999), Angkatan 2000 (PT. Gramedia, 2001), Dari Fansuri Ke Handayani (Horison, 2001), Gelak Esai & Ombak Sajak Anno 2001(Penerbit Buku Kompas, 2001) Hijau Kelon & Puisi 2002 (Penerbit Buku Kompas, 2002) Horison Sastra Indonesia (Horison, 2002), Puisi Tak Pernah Pergi Penerbit Buku Kompas, 2003) Nafas Gunung (Dewan Kesenian Jakarta, 2004) dan Living Together (Kalam, 2005), Antologia de Poéticas (PT Gramedia, 2009) dan sejumlah antologi puisi lainnya.

Sebagai penyair, Soni, berkali-kali diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk membacakan sejumlah puisi yang ditulisnya di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta antara lain dalam forum Puisi Indonesia 1987, dan Cakrawala Sastra Indonesia 2005. Pada tahun 1990 mengikuti South East Asian Writers Conference di Queezon City, Filipina, bersama penyair Dorothea Rosa Herliany, cerpenis Arie Tamba, Laela S. Chudori, dan novelis Mochtar Lubis. Sepulang dari Filipina, Soni melangsungkan pernikahan dengan Heni Hendrayani pada 19 Februari 1990, di Ciamis, Jawa Barat. Pada 1999 mengikuti Festival de Winternachten di Den Haag, Belanda, bermasa penyair Rendra, Agus R. Sarjono, dan Nenden Lilis Aisyah. Pada 2002 mengikuti Festival Puisi Internasional Indonesia di Bandung. Acara tersebut diselenggarakan oleh penyair Rendra, dan pada 2005 mengikuti International Literary Biennale Living Together 2005 di Bandung yang diselenggarakan oleh Teater Utan Kayu, Jakarta, dan beberapa acara lainnya.

Dua kumpulan puisi yang ditulisnya, Sehampar Kabut dan Angsana meraih Hadiah Sastra Lima Besar Khatulistiwa Literary Award yang digelar untuk periode 2005-2006, dan 2006-2007. Sedangkan Pemetik Bintang masuk Sepuluh Besar Khatulistiwa Literary Award 2008-2009. Sebelumnya sebuah puisi yang ditulisnya dalam bahasa Sunda, Sajak Tina Sapatu Jeung Baju Sakola Barudak meraih Hadiah Sastra LBSS (1999). Sedangkan sebuah esai yang ditulisnya Taufiq Ismail Penyair Yang Peka Terhadap Sejarah meraih Anugerah Jurnalistik Zulharmans dari PWI Pusat, Jakarta (1999). Selain itu, Soni berkali-kali mendapat Hadiah Puisi Juniarso Ridwan lewat puisi Sunda yang ditulis dan dipublikasikannya di majalah Sunda, Manglé.

Selain menulis puisi dalam bahasa Indonesia, Soni menulis puisi dalam bahasa Sunda, dipublikasikan di Tabloid Sunda Galura, Majalah Sunda Mangle, dan Cupu Manik. Sejumlah puisi Sunda yang ditulisnya dibukukan dalam antologi puisi tunggal, Kalakay Méga (Cetakan 3, 2007, CV Geger Sunten). Selain itu dimuat juga dalam antologi puisi bersama, antara lain dalam antologi puisi Saratus Sajak Sunda (CV Geger Sunten 1992), Sajak Sunda Indonesia Emas (CV. Geger Sunten, 1995) dan Antologi Puisi Sajak Sunda (PT. Kiblat Buku Utama, 2007).

Dalam berkarya sastra, selain menulis puisi, Soni menulis pula esai, dan cerita pendek. Esainya tentang puisi dibukukan dalam Menulis Puisi Satu Sisi (Pustaka Latifah, 2004), Selintas Pintas Puisi Indonesia (Jilid 1, PT. Grafindo, 2004, dan Jilid 2, 2007). Sedangkan sejumlah cerita pendek yang ditulisnya antara lain dibukukan dalam Orang Malam (Q-Press, 2005). Di samping itu, namanya dicatat Ajip Rosidi dalam entri Enslikopedi Budaya Sunda (PT. Pustaka Jaya, 2000) dan Apa Siapa Orang Sunda (Kiblat Buku Utama, 2003).***