Selasa, 14 September 2010

Majalah Sastra Horison, September 2009

Sajak-sajak Soni Farid Maulana

PULANG

  - untuk Heni Hendrayani

      rumah yang aku tuju sudah terlihat
bayang-bayangnya. Tujuh lapis tirai kabut terangkat
di hadapan. Siapakah yang menungguku di rumah itu?
cahaya kegelapan atau cahaya rohanikah yang kelak
menyambut ruhku di ruang tamu?
     bahwa hidup yang aku tempuh ke muka
tidak mulus, memang. Ada kalanya kakiku
tersandung batu, serupa mawar hitam yang tumbuh
di belukar liar. Di situ maut sungguh bengis,
pandang matanya sungguh api. Tubuhku hangus
dalam waktu yang sia-sia.
     jika aku pulang di malam lengang, di hatiku
tersimpan sebuah ruang yang telah aku sucikan
untukmu, hanya untukmu semata. Aku mengerti
bila kau tak ingin masuk ke dalamnya,
sebab kau tidak ingin menyingkirkan yang lain.
tidak apa.
      sekali lagi, jalan pulang sudah terbentang.
ada rumput ilalang yang basah oleh hujan. Cintaku,
jangan teteskan airmatamu di jalan itu. Biarkan
hanya basah hujan, dan sisa kabut yang mengendap
di palung daging daun-daun. Dan kini, lepas aku
dengan hatimu yang tulus, sebagaimana aku
mencintaimu bukan untuk nafsu


2009



BAYANG-BAYANG

       siapa yang memarkir kereta jenazah
sewarna pucuk rangasu di halaman tubuhku?
yang punya rumah belum lagi berbenah,
walau cahaya matahari condong ke arah petang.
sungguh, jalan pulang memang sudah tampak
di hadapan, dan rumah yang dituju
memang sudah terlihat bayang-bayangnya.
      jika aku bilang bahwa dalam hatiku ada ruang
yang telah aku sucikan untukmu, maka siapa lagi
yang aku tunggu selain dirimu? Betapa cinta kita
berdesis bagai ular hitam di rumpun malam. Di antara
yang nyata dan yang maya. Berdesis tidak untuk
cari korban.
       kemarilah cintaku, sejenak saja. Lihat kereta
jenazah yang di parkir sang waktu di halaman tubuhku
sudah seharum kembang mayang. Dan pak kusir
sudah duduk di takhta kesayangannya, siap tarik tali kekang,
siap menuju alamat, ke sebuah tempat yang mungkin
tidak sempat kita ingat. Kita? Tidak, bukan kita
yang akan berangkat, tapi aku.
        sekali lagi, kemarilah cintaku. Buka ruang yang telah
aku sucikan untukmu. Masuklah. Ada setangkai bakung
merah, yang aku petik dari taman kesunyianku sehabis bulan
dilepas mega malam. Ada juga selapis kain putih,
yang dulu aku pakai ketika tawaf di baitullah. Semua itu,
untukmu. Untuk menyeka dukamu.


2009



REMANG MIANG 


      sungguh aku begitu sunyi ketika kau
tak menjawab smsku, meski maut yang aku tunggu.
apa yang membuat hatimu menutup pintu
hingga segala ruang percakapan
menjadi sunyi serupa tugu batu? Kemarin malam
kita masih bercakap tentang rembulan yang luka
ditusuk runcing pucuk pinus.
 kau bilang sore ini kau harus pulang.
ya, aku mengerti, dan kita memang akan pulang.
tapi kau pulang ke mana, ke Batavia? Aku sendiri
pulang ke tempat yang lain, di mana
Yang Maha Kekal: --tegak -- sudah di hadapan,
lalu bau kesturi. Lelebihnya bau bunga bangkai.
o maut, kawan akrab negeri kelam.
     cintaku, dengarkan aku bicara,
sungguh kau telah meruang-mewaktu
dalam batinku. Tapi mengapa kau masih juga ragu,
bahkan tidak percaya kepadaku? Apakah aku
serupa drakula di hadapanmu? Jika serupa itu,
mengapa jendela hatimu masih kau biarkan
terbuka ke arahku, hingga kilau lampu
di kamarmu berkedip: serupa morse,
-- isyarat rindumu kepadaku? -- O, maut,
kawan akrab mimpi hitam.


2009



KELAM

      lalu siapa yang berkelebat dalam ruang
yang telah aku sucikan untukmu,
kalau bukan dirimu? Koak burung gagak
dalam kelam. Ledakan bintang merah di langit hitam.
o maut sahabat karib negeri gaib.
      sekali lagi, siapa yang berkelebat dalam ruang
yang telah aku sucikan untukmu, kalau bukan dirimu?
ya, memang, aku mendengar langkah itu. Lebih halus
dari derai kabut di pucuk pohonan. Lebih lembut
dari jejak gerimis di kelopak bunga angsana. O maut
karib malang dalam duka.

      sekali lagi aku bertanya, mengapa kau, cintaku,
tak juga datang ke tempat ini, ke ruang ini, ruang
yang telah aku sucikan untukmu? Betapa jarak
dan bahasa telah memisah kita. O maut
: -- salib ruhku di tulang rusuknya –
hingga segala makna: lebur dalam tiada,
ke titik asal hidupku bermula.


2009



AMBANG PETANG

 malam bergulir di tangkai daun
serupa sisa hujan ambang petang
lebih lembut dari embun airmataku
yang tumpah di sisi kiri baitullah –
dan maut begitu nyata di pangkuanku
 sekali lagi, di sisi kiri baitullah
airmataku tumpah. Langit begitu jernih
disepuh cahaya bulan. Kalbuku
pedih sungguh dirajam pisau kegelapan
senyata maut yang rebah di pangkuanku
 o, jalan pulang yang terbentang
di hadapan. O, ruang yang telah aku sucikan
untukmu, sunyi sungguh, serupa batu hitam
di dasar sumur tua. Dan kini, kuntum harap
tak lagi mekar serupa ligar mawar
di belukar liar, sejak kau serupa bayang-
bayang di kelir batinku.


2009


TERATAI

      ada teratai biru mekar di kedalaman.
teratai ini teratai hatiku, untukmu. Ia
lebih biru dari inti api yang bukan api.
seandainya kau melihatnya malam hari,
ketika cahaya bulan menyentuh miring:
-- kau akan berkata, “semekar itukah
rindumu kepadaku?” Ya. Segairah itu pula:
-- ajal, sang mempelai, menantiku
di ranjang waktu.

      teratai ini, teratai yang lain, cintaku. Ia
lebih wangi dari kembang kabung,
lebih bersinar dari cahaya matahari,
lebih redup dari kilau matamu, ketika perlahan
terpejam di sisiku. Dalam pelukanku. O, maut
datang dan pergi bagai dentang jam.


2009



MELATI AIR  

     ini melati air untukmu, cintaku. Melati ini,
tidak wangi, memang. Tapi warnanya
yang putih, dan wujudnya yang sederhana itu
adalah sebuah puisi. Aku suka melati ini:
dalam gelap aku bertanya, apa artinya
wangi dan tidak wangi, bila ia begitu cepat sirna
dalam hidup kita?
       bukankah yang abadi, cintaku,
bukan soal wangi dan tidak wangi
dalam hidup kita? Yang abadi
adalah seberapa sungguh kita mengada,
tumbuh dalam dunia yang kita damba.
lalu, hidup itu apa? Betapa batas dan tepi,
terhampar di hadapan. O, maut
getar layar gaib perahu waktu.

       cintaku, ada malam-malam panjang
dalam hidupku tanpa cahaya bulan, tanpa
bunyi musik. Tanpa derai angin di ranting
pepohonan. Ada kesunyian biru senyap
membungkus ruhku di sudut waktu
dan, kau, cintaku, serupa dewi asri, terbang
ke pusat cahaya yang tak tercatat alam raya,
alam gaib dalam getar jantungku


2009 



BAKUNG

        bukankah cahaya lilin di atas meja
tinggal sehembusan napas lagi, cintaku?
cahaya remang di sela rimbun dedaunan
menggarisbawahi bayang-bayang detik jam
yang menilam lumpur di atas kubur.
      apa yang kau ragukan, cintaku?
ruang yang aku sucikan untukmu sudah seharum
kembang bakung. Sudah seharum bunga setaman:
-- harum bunga -- yang bukan sembarang bunga
dalam hidupku, aku sunting untukmu.
       o maut, yang berkelebat dalam derai hujan,
menjaring angin dingin di ranting pohonan,
yang berdesir dan berdesir searus alir air.
sedang di sini, di ruang ini, hanya cahaya lilin,
remang malam, dan kau tak ada
di sampingku.


2009



Selain dimuat dimajalah sastra Horison,juga dimuat dalam kumpulan puisi Peneguk Sunyi (Kiblat Buku Utama, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar