Soni Farid Maulana
KUKU SI MATI
- untuk Heni Hendrayani
di atas hamparan biru mekar bunga eceng gondok
ribuan piring terbang dikutuk peri hijau toska
menjadi kunang-kunang, sebab terlalu lancang terbang.
kau tertawa ngakak mendengar kisah yang tak masuk akal ini.
“ngaco, bukankah itu kuku si mati, yang menyeruak
dari rongga kuburan, mencari seiris Cahaya Maha Cahaya?”
demikian kau bilang.
meninggi atau merendah di hamparan daun padi
dan eceng gondok yang bergoyang-goyang
dielus angin malam, kunang-kunang tamasya
berkaca di atas permukaan kilau matamu. “Tidak,
itu bukan kuku si mati yang terbang dari rongga kuburan
itu wujud sukma gaibku yang tengah mencari
kilau sari putik kalbumu,” aku bilang,
dan kau diam sesaat, lalu menatap parasku
seperti menatap tamu asing yang singgah di rumahmu.
di bawah bulan dan bintang jatuh, kunang-kunang terbang
lalu meninggi ke angkasa maha luas seiring bola matamu
terpejam lembut dalam pelukku. “Bawa aku terbang ke biru
maqam cintamu yang maha biru. Ke nikmat hidup kaum suci,” bisikmu,
lalu desir angin begitu nyata di hitam helai rambutmu
seharum cempaka. Seharum tanah sorga. Tanah sorga
2008
SANGEN
1
Rara, mungkin di Nara,
di sebuah kuil tua,
sisa senja mempertemukan kita.
Garis merah di ujung langit sana
seperti sebuah isyarat, semacam rindu
ditafsir kepak burung,
diwirid rumpun ilalang.
Siut angin dan getar dedaunan
nun di sebuah jarak
seperti sebuah lukisan cat air
di sebuah museum.
Rara, hari-hari yang kita tempuh
berjurang dan berlembah nilai-nilai.
"Hanya waktu yang tahu rahasia nasib kita
di sebuah dermaga!" demikian kau bilang,
dalam sebuah surat serupa tujuh haiku
Kawabata.
2
Ke halaman hatimu
aku datang malam itu
dengan cahaya bulan
yang mengiris kegelapan.
Musim dingin atau musim semi
apa bedanya, bila rindu bertilam rindu
menemu makna yang sama,
lebih mekar dari sekar sakura.
Rara, lagu itu, petikan sangen itu,
telah menarik bintang langitku
berlabuh ke telukmu, tidur lelap
dalam matamu yang teduh.
"Sayangku, kau bukan sangkuriang
dan aku bukan dayang sumbi.
Kau dan aku saling mencari
saling menemukan!"
3
Di Nara, Rara, cahaya bulan
menyilang kuil tua,
seperti dalam sebuah film Kurosawa.
Suara-suara serangga malam
mengeja namamu dan namaku,
lalu getar daun gugur
di antara ranting sakura.
Dalam hening kita kembali mendengar
seseorang seperti tengah membaca
sebuah kitab suci,
atau mungkin tengah membaca
sebuah kisah cinta
yang kekal, yang tidak berakhir
dengan airmata, atau luka,
yang membuat kita terlempar
ke dasar palung sunyi yang kelam.
Rara, cahaya bulan di langit Nara,
cahaya cinta kita juga
2009
REMANG
Semalam rumahku yang dalam kebakaran.
Aku lengah. Aku melihat jiwaku terbaring sunyi
di celah kibaran rambutmu yang asing wanginya.
Di langit peri jangkung bunga kecubung
menatap tajam wajahku dan berkata, “terbakar juga?”
Aku hanya diam, tiang listrik dipukul orang,
hujan lebat mengguyur angsana hujan yang asing juga.
Ombak laut di ujung tanjung remang dalam kabut.
Detik jam berkilat seperti taring drakula diasah
cahaya bulan:inginkan urat darahku, inginkan darah segar
sekali hisap. Sungguh, ruang di mana aku berada
kini terasa sunyi seperti batu dasar kali. Aku mengerti,
bahwa batas dan tepi akan aku tempuh
dengan langit yang lain dan angin yang lain pula
2009
Melalui kumpulan puisinya yang terbaru, Soni Farid Maulana sekali lagi membuktikan bahwa ia termasuk penyair Indonesia kontemporer yang bukan saja sangat produktif, melainkan sanggup menjaga mutu tinggi yang sampai sekarang tetap menjadi ciri perpuisiannya. Dalam kumpulan terbaru, tema "maut" cukup menonjol. Tema yang - menurut kesan saya - sering dipilih penyair Indonesia. Tapi, Soni mengurus tema itu dengan cara yang meyakinkan, dengan menemukan sisi-sisi baru, sehingga tema "maut" dalam puisi Soni sama sekali tak terasa aus atau banal.
Berthold Damshäuser.
Pengamat sastra Indonbesia
Universitas Bonn
Soni Farid Maulana adalah penyair yang kuasa mendayagunakan sensitifitasnya secara terjaga. Imajinasi-imajinasinya terkendali, dan hadir ke tengah kita melalui pilihan kata serta serangkaian metafor yang terbilang sederhana, bernada personal dan terkadang pula sosial. Hal mana itu sekaligus juga menunjukan kematangannya sewaktu mengolah kejadian sehari-hari menjadi sebuah puisi yang penuh
arti.
Warih Wiratsana, penyair
Mengukir Sisa Hujan
Sajak-sajak 2007-2010
© Soni Farid Maulana
Diterbitkan oleh Ultimus
Cetakan 1, Mei 2010
Harga buku Rp30,000
silakan hubungi Penerbit Ultimus
Jl. Rangkasbitung 2A, Bandung, 40272
Telp./Faks. (022) 70908899, 7217724
ultimus_bandung@yahoo.com
www.ultimus-online.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar