Jumat, 14 September 2012
Majalah Sastra Horison l September 2012
Sajak-sajak Soni Farid Maulana
Miqat
Dua lembar kain ihram di tubuhku, seperti pakaian si mati di hari pengadilan, yang berjalan gontai dengan muka tertunduk lesu, tak berani menatap wajahMu, Yang Maha Hakim. Dua lembar kain ihram di tubuhku menjelma linggis gaib, menjebol tangki airmataku di gelap malam, lebih hitam dan bahkan lebih busuk dari air comberan.
Para peziarah berjalan khusyu. “Aku datang kepadaMu, aku penuhi panggilanMu!” Ya Allah, berapa jarak lagi dari Bir Ali langkah kakiku menuju tanah suciMu, mencapai denyut nadi ampunanMu? Betapa ombak laut cahayaMu, aku rindu menenggelamkan adaku dalam nikmat karuniaMu yang kekal.
Di langit Timur Jauh, aku melihat bintang jatuh, juga melihat bayang-bayang diriku yang roboh ditimpa ribuan berhala, ingin meloloskan diri dari kepungan segala suara, yang semua itu bukan suaraMu, bukan firmanMu. Nyata sudah airmataku, malam ini, mengalir deras ke sungguh muara dalam seah talbiyah. Wahai Tuhan para malaikat dan ruh, bakar aku dalam api ampunanMu yang paling mawar.
2010
Jabal Rahmah
Di Jabal Rahmah di Padang Arafah ada kisah Adam-Hawa dipertemukan Tuhan, setelah keduanya berpisah diusir dari sorga. Keduanya dipertemukan Tuhan dalam naungan cintaNya yang kekal, setelah rahmat dan ampunanNya melimpah ke hati keduanya. Dalam putaran waktu, ada tangki air mataku bedah di situ. Lihat, betapa hitam dan busuk airmataku, lebih butek dari air comberan. Sungguh jiwaku merindu ampunanNya, ingin meloloskan diri dari segala kepungan berhala dan kepungan segala suara yang bukan suaraNya. Dalam seah talbiyah menjelangi Hari Arafah nyata sudah adaku bagai kendi pecah. “Ya Allah, hancurkan aku, bentuk kembali aku dalam naungan cintaMu dan ampunanMu yang kekal. Jauhkan aku dari segala suara yang bisa menjatuhkan martabat Adam-Hawa dari sorgaMu!”
2010
Hari Arafah
Inilah hari yang dirindukan itu, hari Arafah. Pintu-pintu langit dan ampunanNya dibukaNya dengan segala keagunganNya. “KaruniaMu ya Allah yang hamba mohon dariMu, dari kemuliaan kasih sayangMu!” begitu suara hatiku aku dengar dalam hening. Siang itu, cahaya matahari bagai mata tombak yang menyala, menusuk ubun-ubunku. Kain ihram basah sudah, tubuhku bau amis bagai ribuan bangkai ikan yang perlahan membusuk dalam hatiku. Tidak. Adaku di situ bagai sebutir pasir yang ditimpa tahi onta di situ. Aku meledak dalam duka. Yang bicara hanya airmata: ketika segala dusta juga segala dosa menampakan dirinya serupa bajingan tengik yang lapar dan liar memperkosa gadis belia di gelap malam, yang setelah itu dihabisi nyawanya, diteguk darahnya. Aku meraung dalam luka. “Sungguh inilah Hari Arafah hari yang dirindukan itu. Aku datang kepadaMu dengan segala adaku sebusuk najis. Aku datang kepadaMu dengan segala damba dan rindu para nabi. Giring aku ke dalam barisan orang-orang yang Kau cintai sepanjang waktu; jangan tendang aku ke dalam jurang yang hina, Wahai Tuhan para malaikat dan ruh!”
2010
Lontar Jumrah
Melewati terowongan Mina, hatiku bergetar diterjang gelombang takbir, tasbih, dan tahmid, juga seah talbiyah; yang mengiringi setiap langkah kaki hambaMu menuju Jumratul-Uula, Wustha, dan ‘Aqabah. Aku berjalan menuju medan perang yang sesungguhnya, melawan diriku sendiri tawanan nafsu kegelapan yang garang dan buas. Dengan menyebut namaMu dan demi keagunganMu, Ya Allah aku lontar jumrah dengan kerikil yang aku pungut di gelap malam di Muzdalifah yang lengang, di bawah terang cahaya bulan. Aku lontar jumrah dengan sesungguh hati, seperti melempar batu ke arah diriku sendiri: Iblis yang mahir menyaru jadi orang suci, peneguk nafsu duniawi, pelayar tangguh gelombang syahwat ribuan peri metropolitan. Sungguh airmataku tak terbendung: -- bedah dan bedah lagi di situ, saat dengan jelas melihat diriku sendiri begitu buruk rupa luar-dalam, malu sungguh berdiri di hadapanMu Yang Maha Suci. Ya Allah, di tengah-tengah lautan orang suci, aku bersyukur bisa menghirup angin rahmatMu seharum mawar negeri langit; yang berhembus ke arah makhlukMu, ketika cahaya pagi merekah, dan langit di atas kepala jernih sudah.
2010
Batu Nisan
Magrib belum tiba memang, tapi cahaya di luar sana remang sudah. Seremang itukah cahaya di parasmu, mendaras mataku. Bila laut berdebur seperti suara yang bangkit dari alam kubur, saat itulah, bintang berekor dari arah timur jauh menyeret ingatanku akan dirimu, yang dulu pernah berkata, aku mencintaimu. Tapi apa artinya dulu dan kini -- bila dalam gelap -- kilau matamu masih menyimpan getar, semacam debar, dan burung-burung Attar kembali terbang menyusur alur takbir, alun dzikir. Kekasihku, antara batu nisan, aksara purba dan lumut hijau di sela akar pohonan; maut yang cerlang menungguku di situ, seiring gelombang doa sapu jagat diucap para jamaah di rumahNya yang purba, bergetar hingga ke langit jauh, hingga ribuan berhala runtuh dalam hatiku.
2011
SONI FARID MAULANA lahir 19 Februari 1962 di Tasikmalaya, Jawa Barat, dari pasangan Yuyu Yuhana bin H. Sulaeman dan R. Teti Solihati binti Didi Sukardi. Masa kecil dan remaja, termasuk pendidikannya, mulai tingkat SD, SMP, dan SMA ditempuh di kota kelahirannya. Tahun 1985, Soni menyelesaikan kuliah di Jurusan Teater, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Aktif menulis puisi sejak tahun 1976, dipublikasikan di berbagai media massa cetak terbitan daerah dan ibukota. Sejumlah puisi yang ditulisnya sudah dibukukan dalam sejumlah antologi puisi tunggal, antara lain dalam Tepi Waktu Tepi Salju (Kelir, 2004) Variasi Parijs van Java (PT. Kiblat Buku Utama, 2004), Secangkir Teh (PT. Grasindo, 2005), Sehampar Kabut (Ultimus, 2006), Angsana (Ultimus, 2007), Opera Malam (PT. Kiblat Buku Utama, 2008), Pemetik Bintang (PT Kiblat Buku Utama, 2008), Peneguk Sunyi (PT Kiblat Buku Utama, 2009), Mengukir Sisa Hujan (Ultimus, 2010) dan Disekap Hujan (Kelir, 2011).
Selain itu, dimuat juga dalam antologi puisi bersama seperti Tonggak IV (PT Gramedia, 1987), Winternachten (Stichting de Winternachten, Den Haag, 1999), Angkatan 2000 (PT. Gramedia, 2001), Dari Fansuri Ke Handayani (Horison, 2001), Gelak Esai & Ombak Sajak Anno 2001 (Penerbit Buku Kompas, 2001) Hijau Kelon & Puisi 2002 (Penerbit Buku Kompas, 2002) Horison Sastra Indonesia (Horison, 2002), Puisi Tak Pernah Pergi Penerbit Buku Kompas, 2003) Nafas Gunung (Dewan Kesenian Jakarta, 2004), Living Together (Kalam, 2005), Antologia de Poéticas (PT Gramedia, 2009), Danau Angsa (PT. Gramedia, 2011), Equator (Yayasan Cempaka Kencana, 2011), Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia (Kosa Kata Kita, 2011), Kitab Radja-Ratoe Alit (Kosa Kata Kita, 2011) dan sejumlah antologi puisi lainnya.
Dua kumpulan puisi yang ditulisnya, Sehampar Kabut dan Angsana meraih Hadiah Sastra Lima Besar Khatulistiwa Literary Award untuk periode 2005-2006, dan 2006-2007. Sebelumnya sebuah puisi yang ditulisnya dalam bahasa Sunda, Sajak Tina Sapatu Jeung Baju Sakola Barudak meraih Hadiah Sastra LBSS (1999). Sedangkan sebuah esai yang ditulisnya Taufiq Ismail Penyair Yang Peka Terhadap Sejarah meraih Anugerah Jurnalistik Zulharmans dari PWI Pusat, Jakarta (1999). Selain itu, Soni berkali-kali mendapat Hadiah Puisi Juniarso Ridwan lewat puisi Sunda yang ditulis dan dipublikasikannya di majalah Sunda, Manglé. Pada bulan Desember 2010 mendapat Anugerah Budaya 2010 dari Gubernur Jawa Barat untuk bidang penulisan karya sastra.
Selain menulis puisi dalam bahasa Indonesia, Soni menulis puisi dalam bahasa Sunda, dipublikasikan di Tabloid SundaGalura, Majalah Sunda Mangle, dan Cupu Manik. Sejumlah puisi Sunda yang ditulisnya dibukukan dalam antologi puisi tunggal, Kalakay Méga (Cetakan 3, 2007, CV Geger Sunten). Selain itu dimuat juga dalam antologi puisi bersama, antara lain dalam antologi puisi Saratus Sajak Sunda (CV Geger Sunten 1992), Sajak Sunda Indonesia Emas (CV. Geger Sunten, 1995) dan Antologi Puisi Sajak Sunda (PT. Kiblat Buku Utama, 2007). Selanjutnya, selain menulis puisi, Soni menulis pula sejumlah esai, dan cerita pendek. Esainya tentang puisi dibukukan Selintas Pintas Puisi Indonesia (Jilid 1, PT. Grafindo, 2004, dan Jilid 2, 2007). Sedangkan sejumlah cerita pendek yang ditulisnya antara lain dibukukan dalam Orang Malam (Q-Press, 2005) dan Empat Dayang Sumbi (Komunitas Sastra Lingkar Selatan) dan Fiksi Mini (Kosa Kata Kita, 2011). Di samping itu, namanya dicatat Ajip Rosidi dalam entri Enslikopedi Budaya Sunda (PT. Pustaka Jaya, 2000) dan Apa Siapa Orang Sunda (Kiblat Buku Utama, 2003).
Sebagai penyair, Soni, berkali-kali diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk membacakan sejumlah puisi yang ditulisnya di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta antara lain dalam forum Puisi Indonesia 1987, dan Cakrawala Sastra Indonesia 2005. Pada tahun 1990 mengikuti South East Asian Writers Conference di Queezon City, Filipina. Pada 1999 mengikuti Festival de Winternachten di Den Haag, Belanda. Pada 2002 mengikuti Festival Puisi Internasional Indonesia di Bandung, dan International Literary Biennale Living Together 2005 di Bandung, dan sejumlah acara sastra lainnya.***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar