Rabu, 15 September 2010

Puisi dari Kenangan yang Terus Membayang

Catatan Kecil SONI FARID MAULANA

SETIAP orang punya narasi, yang bersumber pada pengalaman, pada kenangan yang terus membayang. Tentu saja narasi yang dimaksud bukan narasi yang selama ini diperbincangkan oleh para filsuf dan pemikir kebudayaan pada umumnya. Narasi yang dimaksud adalah narasi yang personal sifatnya, yang menggoda pikiran dan hati sang penyair untuk mengekalkannya dalam baris-baris puisi yang ditulisnya, yang boleh jadi tidak seluruhnya berhasilnya disimpan dan dikekalkannya dalam lemari kata-kata. Di dalam kehidupan, manusia senantiasa berhadapan dengan ironi-ironi, yang disadari atau tidak menjadi sumber penciptaan bagi puisi-puisi yang ditulisnya.

Di satu sisi, ia sadar bahwa dirinya fana, takut dikejar-kejar kematian di kala senang. Namun di pihak lainnya, ia begitu mengharapkan kematian datang menjemput dirinya – ketika situasi kejiwaannya tengah goncang, dilanda putus cinta, atau ditampar oleh sebuah pengalaman buruk yang tidak bisa ditanggungnya secara nyata. Dalam kondisi semacam itu, beberapa puisi yang saya tulis lahir dari pengalaman yang kelam, seperti di bawah ini:


DI ATAS PANGGUNG

Shakespeare mengapa kau tulis kisah Romeo
dan Julia? Racun cinta yang aku teguk berbenih
maut dalam dadaku. Sedang hujan yang turun
sejak pagi tak mengubah apa-apa.
duka Romeo yang mengendap dalam kalbuku
mengekalkan keasinganku akan martabat dan derajat
akan status dan kehormatan yang bila
gelap malam tiba menikam pungguku dari belakang

atas semua itu Shakespeare dengar nyanyianku
yang satu ini. Bahwa cinta tak selamanya mampu
menjelaskan cahaya bulan yang terbit di hati
bahwa kelelawar tak mampu menghirup cahaya
matahari, yang diburunya berabad-abad
saat terjaga, hanya kursi, kecoa, dan kain hitam
di atas panggung. Sedang lampu-lampu redup sudah
sedang hatiku bagai hamparan padang rumput

yang bergemuruh menahan kengerian hidup
yang dingin dan sunyi dipeluk embun dini hari
lalu angin dingin berhembus lagi ke ruang ini
ke panggung ini, ke lantai kayu ini,
ke tubuhku ini. Ke tubuhku ini



 

1985

Setelah sekian jarak saya menulisnya, saya sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Donny Gahral Adian dalam pengantarnya untuk buku Yasraf Amir Piliang, yang saya pinjam dalam tulisan ini, untuk menjelaskan apa dan bagaimana proses kreatif itu mempunyai hubungan yang erat dengan realitas kehidupan, yang menjelma narasi yang mempribadi itu.

Donny bilang, kesadaran tentang kefanaan berbanding lurus dengan kesadaran akan kesejatian. Manusia yang menyejarah adalah satu-satunya sosok yang sangat terganggu dengan kefanaan itu. Sebuah ironi menarik. Sosok yang sadar akan kefanaan sekaligus, adalah ia yang gandrung akan kesejatian.

Hidup memang ada dalam kondisi yang demikian. Sudah sewajarnya, dalam mengasah dirinya, seorang penyair harus pula peka terhadap hal-hal semacam itu. Dan bila hal itu dihayati secara sungguh-sungguh, maka ia akan serupa dengan sumber pencerahan. Setidaknya setelah jatuh dalam gelap, saya merasa lebih dewasa lagi dalam sebuah pengalaman spiritual yang lebih luas dan dalam, dari apa yang saya alami sebelumnya.

Semua itu tentu saja bertitik pangkal pada realitas kehidupan, dan itu artinya, bukan berangkat dari sesuatu yang dibayangkan, yang bersumber dari ruang yang kosong, dari hati dan pikiran yang tidak mengalami apa-apa. Selain puisi di atas, saya menulis pula puisi lainnya, yang bersumber dari pengalaman semacam yang nyaris sama, dengan situasi dan variasinya yang lain lagi, seperti di bawah ini:


BINTANG MATI

duduk di bangku kayu, menghayati
sorot matamu yang kelam oleh kabut dukacita
aku temukan bintang mati
bintang yang dulu berpijar dalam langit jiwaku
aku temukan kembali -- begitu hitam dan gosong
dan kau menjerit terpisah dari cintaku.

dengarkan aku bicara, suaraku
bagai ketenangan air sungai bagai keheningan
batu-batu dasar kali melepas bau segar tumbuhan.
bila hari kembang;
suaraku membangun kehidupan yang porak-poranda
oleh gempa peradaban. Ya, kutahu kota yang gemerlap
menyesatkan rohanimu dari jalanku.
hanya ini yang bisa kuberikan kepadamu:
rasa gula terperas dari tebu jiwaku. Reguklah,
biar jiwamu berkilau kembali. O, bintang
yang dulu benderang dalam langit jiwaku.


 

1987-1989


Tentu saja, bukan hanya persoalan cinta, dan hati yang luka, yang menjadi sumber penciptaan puisi bagi seorang penyair. Ada banyak sumber lainnya yang menyebabkan hati kita tergerak, dan terpanggil untuk menulisnya. Penyair dengan demikian bukan hanya berdiri sebagai saksi zaman, ia juga bertindak sebagai juru tulis dan bahkan jurus tafsir bagi penggalan-penggalan riwayat hidupnya, atau riwayat masyarakat dan negaranya, yang dikekalkannya dalam setiap lapisan kata-kata, yang di satu sisi boleh jadi menyusup ke dalam balik kulit lapisan bunyi vokal dan konsonan yang menjelma lambang, symbol, apapun namanya.

Dalam konteks semacam inilah, saya yakini bahwa di dalam karya seni yang demikian senantiasa ada kegiatan jiwa yang terus-menerus hadir, bolak-balik, mondar-mandiri antara kenangan dan realitas hidup yang dihadapinya secara nyata. Pendeknya, reaksi terhadap rangsangan yang menggairahkan mungkin bisa diterangkan hubungan sebab akibatnya; tapi kegiatan kreatif, yang merupakan antithesis atau lawan yang mutlak dari apa yang dibayang-bayangkan saja, jelas tidak akan membuat sebuah karya seni terasa ruhnya, karena ia kehilangan akar, kehilangan konteks yang menjadi sumber acuan dalam berproses kreatif.

Itu sebabnya saya sering mendapat pertanyaan, “saya sering buntu dalam menulis puisi, kata-kata seakan hilang dari ingatan?” Tanya Siti Mirantini dalam sebuah acara diskusi puisi, tempo hari di Banjarmasin dalam acara Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) yang diselenggarakan oleh majalah sastra Horison bekerjasama dengan Ford Foundation. Jika kita mengenal dengan baik seluruh sudut dan ruang dari pengalaman, atau kenangan yang terus membayang dalam ingatan kita, insya Allah, kita tidak akan pernah kehilangan kata-kata, karena kata-kata datang dengan sendirinya. “Kata-kata seakan memburu kita, meminta kita untuk melahirkannya jadi sebuah puisi,” ujar penyair Sutardji Calzoum Bachri dalam sebuah kesempatan di Universitas Lidah Buaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, sebelum terbang ke Banjarmasin.

Setidaknya, demikianlah selintas kilas saya hendak mengatakan akan pentingnya mengenali pengalaman, yang tidak pernah lepas dari realitas kehidupan, walau benar ketika ia menjelma symbol, hal-hal yang bersifat artistik dan estetik, dan sebagainya, dan sebagainya, sudah menjadi dunia yang lain, yang isi dan maknanya hanya akan bisa diungkap bila kita mampu menafsirnya. Peka terhadap pengalaman, lebih tepatnya lagi peka terhadap suasana yang melingkari pengalaman tersebut, adalah ruh dari puisi, yang tidak hanya bersumber pada daya intelektual saja. Paling tidak, saya memahami proses kreatif penulisan puisi, dari sisi semacam ini salah satu sisinya.

Lepas dari persoalan tersebut di atas apa yang dinamakan kenangan dalam konteks yang demikian itu adalah pengalaman juga. Ia selain berurusan dengan persoalan-persoalan hati yang luka, bisa juga berupa sebuah tempat yang tidak bisa lupakan. Tempat itu bisa di dalam atau di luar negeri. Dan apa yang berkait dengan tempat, bisa juga merupakan penggambaran dari tempat itu, atau dari sebuah peristiwa batin yang berkait dengan tempat itu. Fokus terhadap satu bagian dari tempat dan peristiwa yang terjadi pada sebuah tempat di mana kita berarada, itulah yang dinamakan sudut penciptaan puisi, yang tentu berbeda dengan apa yang disebut dengan sudut pandang. Dan apa yang dinamakan sudut pandang biasanya lebih kepada penentuan nilai-nilai, sedangkan apa yang dinamakan sudut penciptaan puisi lebih mengarah pada kejelian kita dalam menangkap dan mengkristalkan peristiwa puitik yang menghampiri kita secara telanjang bulat, merangsang, dan menggairahkan. Satu dari sekian puisi yang saya tulis berkait dengan tempat adalah seperti puisi di bawah ini:


PARIS LA NUIT

dua jam yang lalu
di Brasserie Lipp sambil minum anggur
aku tunggu Charles Baudelaire,
ia tak kunjung datang dari negeri kelam.
omongan balau, asap rokok,
juga sebaris imaji yang liar melintas di situ.
malam beranjak tua mengenakan mantelnya
yang hitam bergaris angin musim dingin.

sepanjang Saint-Germain
lampu menyala. Kata dan lagu asing
menyerbu pendengaranku.
cahaya bulan dan bintang disapu kabut.
langkah kakiku terasa penat, naik-turun
undakan nilai-nilai berduri maut.

sebab hidup mengalir ke hilir
sebab bahagia dan derita tipis batasnya
sekali lagi dalam hawa yang dingin
aku teguk anggur merah.
perlahan dan sangat perlahan di hadapan
gerbang dunia tak di kenal membuka
cahayanya lebih sunyi dari ribuan lampu
yang menyala sepanjang Saint-Germain

manusia lalu di sana, seperti katamu,
menyeberangi hutan lambang


 

1999

Puisi tersebut saya tulis di tempat tinggal penyair Sitor Situmorang di Paris, setelah pada malam hari sebelumnya, saya, penyair Rendra, Nenden Lilis Aisyah, Ken Zuraida, Agus R. Sardjono, Jeff Paimin dan seorang perempuan yang saya lupa namanya mengajak menikmati Kota Paris malam hari di kawasan Saint-Germain, yang indah. Brasserie Lipp yang ada di kawasan tersebut serupa dengan restoran mewah, tempat aktor dan aktris film yang bermukim di Kota Paris makan di situ. Konon tempat itu pernah pula didatangi oleh para filsuf di kota tersebut. Pikiran saya pada malam itu tiba-tiba saja ingat Charles Baudelaire, salah seorang tokoh puisi modern Prancis dengan gerakan puisi surealisme yang menghebohkan pada zamannya (1821-1867).

Dalam kondisi yang demikian itu batin saya berhadapan dengan yang nyata dan tidak nyata. Semua bercampur-aduk, menjelma pengalaman yang mistis, dan bahkan magis. Untuk itu benarlah apa yang dikatakan Rendra, pengalaman puitik adalah pengalaman yang tidak diduga kedatangannya. Bila ia menyapa batin kita jangan ditolak, biarkan ia masuk ke relung hati terdalam, hingga tumbuh, besar dan matang. Pada waktunya ia akan seperti bayi, tanpa diminta akan lahir sendiri.
Ketika puisi lahir dengan sendirinya, ternyata secara otomatis apa yang dinamakan majas dalam tataran semantik maupun sintaksis lahir pula dengan sendirinya. Jadi sebuah pengalaman yang matang pada kenyataannya telah menyiapkan segalanya. Jika pun terjadi revisi, hanya revisi kecil, mencari kata yang sepadan untuk kepentingan rima, atau untuk pendalaman makna agar apa yang ingin diekspresikan itu tepat adanya, dan kita pun menjadi puas karenanya.***

Selasa, 14 September 2010

Majalah Sastra Horison, September 2009

Sajak-sajak Soni Farid Maulana

PULANG

  - untuk Heni Hendrayani

      rumah yang aku tuju sudah terlihat
bayang-bayangnya. Tujuh lapis tirai kabut terangkat
di hadapan. Siapakah yang menungguku di rumah itu?
cahaya kegelapan atau cahaya rohanikah yang kelak
menyambut ruhku di ruang tamu?
     bahwa hidup yang aku tempuh ke muka
tidak mulus, memang. Ada kalanya kakiku
tersandung batu, serupa mawar hitam yang tumbuh
di belukar liar. Di situ maut sungguh bengis,
pandang matanya sungguh api. Tubuhku hangus
dalam waktu yang sia-sia.
     jika aku pulang di malam lengang, di hatiku
tersimpan sebuah ruang yang telah aku sucikan
untukmu, hanya untukmu semata. Aku mengerti
bila kau tak ingin masuk ke dalamnya,
sebab kau tidak ingin menyingkirkan yang lain.
tidak apa.
      sekali lagi, jalan pulang sudah terbentang.
ada rumput ilalang yang basah oleh hujan. Cintaku,
jangan teteskan airmatamu di jalan itu. Biarkan
hanya basah hujan, dan sisa kabut yang mengendap
di palung daging daun-daun. Dan kini, lepas aku
dengan hatimu yang tulus, sebagaimana aku
mencintaimu bukan untuk nafsu


2009



BAYANG-BAYANG

       siapa yang memarkir kereta jenazah
sewarna pucuk rangasu di halaman tubuhku?
yang punya rumah belum lagi berbenah,
walau cahaya matahari condong ke arah petang.
sungguh, jalan pulang memang sudah tampak
di hadapan, dan rumah yang dituju
memang sudah terlihat bayang-bayangnya.
      jika aku bilang bahwa dalam hatiku ada ruang
yang telah aku sucikan untukmu, maka siapa lagi
yang aku tunggu selain dirimu? Betapa cinta kita
berdesis bagai ular hitam di rumpun malam. Di antara
yang nyata dan yang maya. Berdesis tidak untuk
cari korban.
       kemarilah cintaku, sejenak saja. Lihat kereta
jenazah yang di parkir sang waktu di halaman tubuhku
sudah seharum kembang mayang. Dan pak kusir
sudah duduk di takhta kesayangannya, siap tarik tali kekang,
siap menuju alamat, ke sebuah tempat yang mungkin
tidak sempat kita ingat. Kita? Tidak, bukan kita
yang akan berangkat, tapi aku.
        sekali lagi, kemarilah cintaku. Buka ruang yang telah
aku sucikan untukmu. Masuklah. Ada setangkai bakung
merah, yang aku petik dari taman kesunyianku sehabis bulan
dilepas mega malam. Ada juga selapis kain putih,
yang dulu aku pakai ketika tawaf di baitullah. Semua itu,
untukmu. Untuk menyeka dukamu.


2009



REMANG MIANG 


      sungguh aku begitu sunyi ketika kau
tak menjawab smsku, meski maut yang aku tunggu.
apa yang membuat hatimu menutup pintu
hingga segala ruang percakapan
menjadi sunyi serupa tugu batu? Kemarin malam
kita masih bercakap tentang rembulan yang luka
ditusuk runcing pucuk pinus.
 kau bilang sore ini kau harus pulang.
ya, aku mengerti, dan kita memang akan pulang.
tapi kau pulang ke mana, ke Batavia? Aku sendiri
pulang ke tempat yang lain, di mana
Yang Maha Kekal: --tegak -- sudah di hadapan,
lalu bau kesturi. Lelebihnya bau bunga bangkai.
o maut, kawan akrab negeri kelam.
     cintaku, dengarkan aku bicara,
sungguh kau telah meruang-mewaktu
dalam batinku. Tapi mengapa kau masih juga ragu,
bahkan tidak percaya kepadaku? Apakah aku
serupa drakula di hadapanmu? Jika serupa itu,
mengapa jendela hatimu masih kau biarkan
terbuka ke arahku, hingga kilau lampu
di kamarmu berkedip: serupa morse,
-- isyarat rindumu kepadaku? -- O, maut,
kawan akrab mimpi hitam.


2009



KELAM

      lalu siapa yang berkelebat dalam ruang
yang telah aku sucikan untukmu,
kalau bukan dirimu? Koak burung gagak
dalam kelam. Ledakan bintang merah di langit hitam.
o maut sahabat karib negeri gaib.
      sekali lagi, siapa yang berkelebat dalam ruang
yang telah aku sucikan untukmu, kalau bukan dirimu?
ya, memang, aku mendengar langkah itu. Lebih halus
dari derai kabut di pucuk pohonan. Lebih lembut
dari jejak gerimis di kelopak bunga angsana. O maut
karib malang dalam duka.

      sekali lagi aku bertanya, mengapa kau, cintaku,
tak juga datang ke tempat ini, ke ruang ini, ruang
yang telah aku sucikan untukmu? Betapa jarak
dan bahasa telah memisah kita. O maut
: -- salib ruhku di tulang rusuknya –
hingga segala makna: lebur dalam tiada,
ke titik asal hidupku bermula.


2009



AMBANG PETANG

 malam bergulir di tangkai daun
serupa sisa hujan ambang petang
lebih lembut dari embun airmataku
yang tumpah di sisi kiri baitullah –
dan maut begitu nyata di pangkuanku
 sekali lagi, di sisi kiri baitullah
airmataku tumpah. Langit begitu jernih
disepuh cahaya bulan. Kalbuku
pedih sungguh dirajam pisau kegelapan
senyata maut yang rebah di pangkuanku
 o, jalan pulang yang terbentang
di hadapan. O, ruang yang telah aku sucikan
untukmu, sunyi sungguh, serupa batu hitam
di dasar sumur tua. Dan kini, kuntum harap
tak lagi mekar serupa ligar mawar
di belukar liar, sejak kau serupa bayang-
bayang di kelir batinku.


2009


TERATAI

      ada teratai biru mekar di kedalaman.
teratai ini teratai hatiku, untukmu. Ia
lebih biru dari inti api yang bukan api.
seandainya kau melihatnya malam hari,
ketika cahaya bulan menyentuh miring:
-- kau akan berkata, “semekar itukah
rindumu kepadaku?” Ya. Segairah itu pula:
-- ajal, sang mempelai, menantiku
di ranjang waktu.

      teratai ini, teratai yang lain, cintaku. Ia
lebih wangi dari kembang kabung,
lebih bersinar dari cahaya matahari,
lebih redup dari kilau matamu, ketika perlahan
terpejam di sisiku. Dalam pelukanku. O, maut
datang dan pergi bagai dentang jam.


2009



MELATI AIR  

     ini melati air untukmu, cintaku. Melati ini,
tidak wangi, memang. Tapi warnanya
yang putih, dan wujudnya yang sederhana itu
adalah sebuah puisi. Aku suka melati ini:
dalam gelap aku bertanya, apa artinya
wangi dan tidak wangi, bila ia begitu cepat sirna
dalam hidup kita?
       bukankah yang abadi, cintaku,
bukan soal wangi dan tidak wangi
dalam hidup kita? Yang abadi
adalah seberapa sungguh kita mengada,
tumbuh dalam dunia yang kita damba.
lalu, hidup itu apa? Betapa batas dan tepi,
terhampar di hadapan. O, maut
getar layar gaib perahu waktu.

       cintaku, ada malam-malam panjang
dalam hidupku tanpa cahaya bulan, tanpa
bunyi musik. Tanpa derai angin di ranting
pepohonan. Ada kesunyian biru senyap
membungkus ruhku di sudut waktu
dan, kau, cintaku, serupa dewi asri, terbang
ke pusat cahaya yang tak tercatat alam raya,
alam gaib dalam getar jantungku


2009 



BAKUNG

        bukankah cahaya lilin di atas meja
tinggal sehembusan napas lagi, cintaku?
cahaya remang di sela rimbun dedaunan
menggarisbawahi bayang-bayang detik jam
yang menilam lumpur di atas kubur.
      apa yang kau ragukan, cintaku?
ruang yang aku sucikan untukmu sudah seharum
kembang bakung. Sudah seharum bunga setaman:
-- harum bunga -- yang bukan sembarang bunga
dalam hidupku, aku sunting untukmu.
       o maut, yang berkelebat dalam derai hujan,
menjaring angin dingin di ranting pohonan,
yang berdesir dan berdesir searus alir air.
sedang di sini, di ruang ini, hanya cahaya lilin,
remang malam, dan kau tak ada
di sampingku.


2009



Selain dimuat dimajalah sastra Horison,juga dimuat dalam kumpulan puisi Peneguk Sunyi (Kiblat Buku Utama, 2009)

Tajug Rencana HU Pikiran Rakyat, 8 September 2010

Soni Farid Maulana

Idul Fitri

fajar 1 syawal di ufuk timur
fajar yang basah oleh takbir dan tahmid.
adakah cahaya idul fitri
terbit lebih cerah dari cahaya matahari
dalam langit kalbuku sehitam arang?

di lapangan terbuka
sajadah demi sajadah umur
terhampar ke arah kiblat
basah oleh airmata
yang pedih ditinggal bulan puasa
bulan yang penuh rahmat
dan ampunan Allah ‘Azza Wajalla.

“wahai manusia
batas umur adalah kubur
adakah bulan puasa tahun ini
bukan hanya haus dan lapar
bagi kita yang menjalaninya
dengan penuh rasa syukur?”

suara itu jelas terdengar
ketika angin lembut pagi hari
menyisir rerumputan
takbir dan tahmid pun bergema
menggungcang ruang dalam
ruang dadaku yang kelam.

“wahai manusia
mengapa kau masih juga sibuk
dengan urusan keduniawian,
mengapa kau hardik fakir miskin
dari halaman rumahmu,
yang justru dengan itu
sesungguhnya ia tengah bekerja
memperindah puasamu. Sayang,
kau telah mengancurkannya
dengan kata-kata kasarmu!”

suara itu kembali terdengar
sesaat sebelum rakaat salat idul fitri
ditegakkan di atas sajadah umur
yang tidak hanya terhampar ke arah kiblat
tetapi juga menukik ke arah kubur
ke tepi waktu ke tepi salju. Dan aku,
tak kuasa berdiri tegak, betapa keropos
isi dadaku. “Amal macam apakah
yang aku jalanani selama ini, kotor
dan berdebu: di bulan puasa
yang mungkin tidak lagi aku jumpa
di tahun depan. Di tahun depan?”

sesaat hening menilam hening
alun takbir dan tahmid terdengar nyaring
dalam pengupinganku yang dalam
yang membangkitkan seluruh ingatanku
sehitam aspal jalanan.  Cahaya alif,
betapa aku rindu selamanya
terpancar dari segenap rahmat
dan ampunan Allah ‘Azza Wajalla
melimpahi kalbuku, kalbu
umat Muhammad saw
di hari idul fitri


2010